Dikutip dari Seoul Eats, orang-orang Korea percaya bahwa makan samgyeopsal sesekali itu sehat. Ini terutama benar ketika perut babi dimakan dengan kimchi yang pada dasarnya merupakan sayuran sehat.
Lebih lanjut, orang-orang Korea memiliki kepercayaan bahwa lemak licin dan berminyak dari perut babi baik untuk menghilangkan debu dari paru-paru. Orang-orang Korea juga sering memakan hidangan ini selama musim debu kuning, kondisi saat udara Korea dipenuhi dengan polusi debu dan pasir halus yang tidak sehat yang mengalir dari Tiongkok.
Mitos terkait khasiat perut babi yang kini masih jadi kepercayaan banyak orang Korea itu juga pernah dilaporkan oleh South China Morning Post. Keyakinan bahwa daging babi mendetoksifikasi paru-paru telah mendorong orang-orang Korea untuk mengonsumsi lebih banyak daging saat terjadi masalah polusi di negara tersebut pada akhir 2013.
Baca Juga: Mengapa Orang Korea Selatan Bersemangat dalam Berbahasa Indonesia?
Kala itu penjualan daging babi di Korea Selatan tiba-tiba meroket. Sebagian besar berkat takhayul lama yang mengklaim bahwa memakan daging babi membantu tubuh membuang polutan yang masuk lewat udara yang kita hirup.
Homeplus, jaringan toko ritel diskon terbesar kedua Korea saat itu, melaporkan bahwa penjualan perut dan kaki babi naik 32 persen pada minggu pertama Desember 2013. Total, ada lebih dari 150 ton daging bagi terjual pada periode tersebut, sebagaimana dilaporkan Global Times yang mengutip penelitian ekonomi di The Seoul Economic Daily.
Alasan popularitas daging babi yang tiba-tiba meroket itu, meski selama ini daging babi memang populer dan digilai masyarakat Korea, adalah terkait meningkatnya paparan kabut asap di udara Korea Selatan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, masalah polusi udara yang semakin intensif terjadi di Korea itu berasal dari Tiongkok daratan timur.
Baca Juga: 70 Tahun Berlalu, Kisah Perang Korea yang Belum Berakhir Hingga Saat Ini
Source | : | Global Times,South China Morning Post,Seoul Eats,Goody Malaysia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR