Pada masa Dinasti Joseon, ada desas-desus bahwa makan daging babi akan menyebabkan wasir. Selain itu, babi diberi makan dengan sisa makanan, kotoran selokan, dan kotoran manusia. Oleh karena itu, orang-orang Korea menganggap babi sebagai makanan yang tidak sehat.
Mulai 1970, orang-orang Korea mulai memelihara babi dalam jumlah besar untuk tujuan ekspor. Daging babi dari Korea kemudian banyak diekspor ke Jepang.
Namun, Jepang hanya membeli bagian tertentu dari babi seperti daging babi pinggang atau daging babi tenderloin untuk membuat hidangan steak babi. Akibatnya, bagian lain dari babi seperti kepala, usus, dan perutnya tetap dikonsumsi di Korea.
Saat itu orang-orang Korea yang memiliki kompor gas di dapur, mulai memanggang sisa-sisa bagian babi tersebut, terutama bagian perutnya. Perut babi biasanya dipotong menjadi 3 hingga 4 sentimeter agar mudah dipanggang dan dimakan.
Baca Juga: Di Vietnam, Daging Tikus Menjadi Makanan Populer yang Digilai
Ketika pendapatan para pekerja di Korea meningkat pada 1980-an, konsumsi daging menjadi lebih tinggi. Selama krisis keuangan IMF tahun 1997, yang membuat kondisi ekonomi di Korea jadi buruk, perut babi menjadi hidangan utama bagi banyak perusahaan karena harganya relatif lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi.
Daging perut babi kemudian menjadi makanan yang populer di Korena karena rasanya yang enak dan harganya yang murah. Samgyeopsal atau daging perut babi panggang adalah makanan yang kini disukai secara universal oleh orang-orang Korea, baik muda ataupun tua, baik kaya ataupun miskin.
Perut babi ini biasanya dipanggan dengan bumbu BBQ dan kemudian ditaruh di atas daun segar. Daginig panggang ini paling enak dimakan dengan kimchi dan ditutup dengan tegukan minuman soju dingin sebagai pencuci mulut.
Baca Juga: Kuliner Ekstrem Tong Zi Dan, Telur Rebus dalam Air Kencing Anak Lelaki
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Source | : | Global Times,South China Morning Post,Seoul Eats,Goody Malaysia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR