LEBIH DARI SERIBU TAHUN SILAM, rekahan bentang alam Gunung Merapi dan Merbabu masih terlihat sangat jelas. Kedua gunung di arah matahari terbit itu menjadi saksi peziarah kuno Borobudur ketika mengawali lawatannya ke pusat pembelajaran agama Buddha itu. Para peziarah berbusana warna kunyit meniti anak tangga dari pintu timur. Kemudian dengan dibimbing pendeta yang membawa gulungan-gulungan perkamen, mereka memasuki dan mengelilingi lorong secara pradaksina–searah jarum jam.
Ibarat pembelajaran dengan metode audio-visual, pendeta menjelaskan kisah di setiap adegan relief sementara para peziarah mendengarkan sekaligus mengamati relief dari dinding teras atau pagar langkan. Relief Borobudur selain digunakan untuk menghiasi bangunan suci itu, juga menjadi media pengajaran agama, dokumenatsi cerita, dan mempermudah akses pembelajaran oleh siapapun.
“Bahwa membaca dan merunut relief itu adalah proses yoga,” ungkap Munandar. Dalam keheningan dan keadaan beryoga peziarah memasuki empat tingkatan lorong sambil mengelilingi Borobudur.
Perjalanan mengelilingi sepuluh kali sambil membaca relief Borobudur senantiasa dilakukan oleh para peziarah kuno. Mereka bersungguh-sungguh bersiap memasuki tahap kehidupan Bodhisattva: Terlepas secara mutlak dari segala ikatan duniawi dan dapat bebas secara mutlak dari kelahiran kembali. “Saya cukup takjub, itu sesuai dengan konsep dasabodhisattva-bhummi, bahwa ada sepuluh lapisan yang harus dilalui orang untuk mencapai pencerahan,” ungkap Munandar menegaskan.
Dalam reka ulang Munandar, akses ke dalam lorong-lorong Borobudur pun disesuaikan dengan tingkatan pendeta Buddha. Lorong yang lebih tinggi menandakan tingkatan lebih tinggi pula menuju pencerahan.
Lalu, bagaimana dengan pusat pengajaran Buddha lainnya? Tampaknya ada kesejajaran makna antara Candi Borobudur di Jawa kuno dan Stupa Sāñci di India kuno. Artinya, perjalanan mengelilingi Candi Borobudur sama dengan perjalanan mengelilingi Stupa Sāñci. Perjalanan keduanya dianggap sebagai simbol penghayatan kehidupan Siddhārta Gautama sejak dia dilahirkan hingga wafat dan memasuki nirwana.
“Simpulannya cukup mengejutkan!” kata Munandar, “Apa yang tadinya diperkirakan para arkeolog bahwa membaca relief Borobudur itu mudah ternyata harus berkali-kali berkeliling searah jarum jam dengan cara merapat ke salah satu dindingnya.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |