Yang pasti, kata Dwi, jaranan sudah ada sejak lama. Jika yang disampaikan dalam cerita lisan selama ini benar, kemungkinan jaranan sebagai tari kerakyatan kuno embrionya sudah ada pada abad ke-12 dan mulai kental pada abad ke-13 dan ke-14. Pada masa kolonial telah ada catatan soal itu. Thomas Starmford Raffles dalam buku History of Java ( 1817) membicarakan sebuah pertunjukan di Jawa yang menggunakan imitasi kuda.
”Jaranan merupakan seni kuno yang berlanjut sampai sekarang,” ujarnya, yang membenarkan bahwa setengah abad lalu seni ini pernah menjadi alat politik (politic labeling) hingga membuatnya sempat terhenti selama beberapa waktu.
Jaranan sebagai seni memiliki sejumlah varian, di antaranya jaranan pegon, senterewe, jawa, dan buto. Munculnya perbedaan versi dalam jaranan, baik menyangkut penamaan maupun cerita yang diusung, menurut Dwi, merupakan sesuatu yang baik. Setiap komunitas memiliki peluang menafsirkan. Hal ini dinilai sah dalam seni pertunjukan kerakyatan.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR