Seorang lelaki berusia 40 tahun, terlihat sedang asik mengukir sebuah gelondongan kayu sepanjang 1,5 meter. Tangan kanan yang memegang palu, terlihat beberapa kali memukul kepala pahat, yang digenggam dengan tangan kiri. Mata pahat mengiris badan kayu, membentuk suatu pola tertentu. Setelah beberapa lama, terlihat motif apa yang sedang ia gambar di kayu itu: Buaya dan komodo.
Lelaki ini bernama Titus, warga Suku Kamoro, satu suku yang bertempat tinggal di distrik Iwaka, sekitar 60 kilometer dari Timika, Papua.
Seni ukir dan Suku Kamoro, memang dua hal yang tak bisa dipisahkan. Dalam kesehariannya, warga Kamoro biasa membuat berbagai jenis ukiran, untuk bermacam keperluan. Perisai, dayung, mangkuk sagu, gendang, dan barang-barang sehari-hari lainnya, mereka buat dengan begitu indahnya. Selain itu mereka juga membuat ukiran khusus. Wemawe, patung yang berbentuk manusia dan mbitoro, totem yang dibuat untuk para leluhur, adalah kreasi para seniman ukir Kamoro yang sulit dicari tandingannya di dunia. Segala ukiran ini mereka buat dengan dua tujuan: untuk perangkat upacara adat dan juga untuk mereka jual.
Warga Kamoro mendapat ide motif ukiran dari bermacam sumber. "Saya dapat ide dari legenda suku kami, dari khayalan dan bahkan dari mimpi," kata Titus. Dari sumber-sumber idenya inilah, Titus dan warga Kamoro lainnya, kemudian memahat kayu, membentuk bermacam motif, semisal hewan, hutan, pantai atau sungai.
!break!Para seniman ukir suku Kamoro disebut maramowe. Dan, tidak semua warga Kamoro bisa menjadi maramowe. Hanya orang-orang tertentu yang mendapat warisan keahlian mengukir dari nenek moyang, yang bisa melakukannya.
Di distrik Iwaka, ada sebuah sanggar yang sengaja dibuat untuk para maramowe. Di sinilah para seniman ukir Kamoro biasa berkumpul untuk menghasilkan karya.
Di dalam sanggar, saat para maramowe sedang asik bekerja, biasanya, ada bunyi lain yang menyelinap, di sela ketukan tak teratur palu dan pahat, dari para seniman ukir Kamoro. Bunyi ini terdengar lebih teratur, berirama, dan merdu. Inilah suara eme, sejenis gendang khas suku Kamoro.
Eme biasa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu milik masyarakat Kamoro. Warga biasa menyanyi untuk memanggil arwah leluhur, dengan syair-syair tertentu. Tujuan pemanggilan arwah leluhur adalah agar dijauhkan dari segala gangguan, saat sedang mengukir.
Ada beberapa aturan khusus soal eme. Pertama, Ia harus diukir dengan motif manusia. Selain itu, eme juga harus terbuat dari kayu khusus, yakni kayu koya. Permukaan untuk menabuhnya pun harus dilapisi dengan kulit biawak. Dan, agar suara yang ditimbulkan lebih nyaring, warga Kamoro biasa menambahkan damar di permukaan gendangnya ini. Jadilah eme dan lagu, membuat suasana di dalam sanggar menjadi meriah.
Suasana terasa semakin semarak saat sekelompok penari, bergoyang mengikuti ketukan eme. Sekelompok perempuan dengan pakaian yang terbuat dari pucuk daun sagu, yang disebut paita, menari mengikuti irama eme. Di sebelahnya, sekelompok lelaki dengan memakai tauri, rok yang terbuat dari bulu burung kasuari, juga terlihat menemani para perempuan bergoyang.
Warga Kamoro, lelaki dan perempuan, menyanyi dan menari begitu saja. Tak ada komando, ajakan ataupun rayuan. Mereka melakukannya hanya dengan satu alasan: Inilah hidup mereka. Ukiran, nyanyian dan tarian adalah nafas keseharian Kamoro.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR