Satu dekade lalu, sebuah gempa terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah terjadi di pesisir Indonesia, memicu tsunami yang menyapu seluruh komunitas di sekitar Samudera India.
Sekitar 228.000 orang meninggal akibat gempa dengan kekuatan 9,1 dan gelombang raksasa yang menerjang pesisir pada 26 Desember 2004.
Kerugian akibat kerusakan yang terjadi diperkirakan mencapai sekitar US$10 milliar.
Bagaimana gelombang tsunami terjadi :
Minggu, 26 Desember 2004 setelah gempa menguncang, menyebabkan tsunami di Samudera Hindia dari Indonesia ke Sri Lanka dan seterusnya.
Getaran gempa merupakan yang terbesar sepanjang sejarah dan menciptakan patahan sepanjang 1.500 km dari Aceh sampai Andaman.
Dimulai dari dasar pusat gempa, getaran bergerak ke utara sepanjang 2 km, terjadi sekitar 10 menit, menurut Observasi Tektonik di Institut Teknologi di California.
Getaran gempa yang memanjang menunjukkan tsunami menerjang wilayah yang sangat jauh dari pusat gempa, seperti Meksiko, Cile, dan Kutub Utara, dengan kekuatan gelombang yang melemah.
Kecepatan gelombang mencapai lebih dari 800km per jam.
Peragaan melalui komputer setelah tsunami, memperkirakan gelombang telah mencapai ketinggian 20 meter di sejumlah wilayah.
Bagaimanapun, penyelidikan yang dilakukan para ilmuwan terhadap kerusakan yang terjadi di Aceh, menemukan bukti kuat bahwa gelombang mencapai ketinggian 20-30 meter di tempat itu.
Kendati gempa dan dampak tsunami terpaut beberapa jam, hampir semua korban dikejutkan dengan peristiwa tersebut. Tidak adanya sistem peringatan yang memadai di tempat itu, membuat orang tidak menerima sinyal untuk menyelamatkan diri.
Setelah bencana, dipasang Sistem Peringatan dan Mitigasi Tsunami di Samudra Hindia untuk mendeteksi perubahan seismologi dan memberikan peringatan kedatangan gelombang.
Bagaimanapun, pada peringatan 10 tahun bencana, pakar risiko dan pejabat PBB memperingatkan maish ada kelemahan dalam sistem tersebut, terutama mengenai masalah komunikasi tentang peringatan dini di tingkat lokal.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR