Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan berencana menghapus tiket murah yang selama ini ditawarkan oleh maskapai penerbangan berbiaya rendah atau low cost carrier (LCC) dengan menandatangani peraturan tarif batas bawah yang baru.
Menurut dia, kebijakan tersebut diharapkan bisa membuat maskapai lebih peduli terhadap aspek keselamatan penumpangnya.
Tarif batas bawah yang baru itu mewajibkan maskapai menjual harga tiket minimal 40 persen dari tarif batas atas saat ini. "Makanya, saya sudah tanda tangan tarif batas bawah," ujar Jonan di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta, Selasa (6/1).
Dengan keputusan tersebut, seolah Jonan merasa bahwa model bisnis LCC yang menekan segala pengeluaran seminimal mungkin juga akan mengancam unsur keselamatan. Benarkah ada korelasi antara harga tiket murah dan aspek keselamatan?
Head of Corporate Secretary & Communications Indonesia AirAsia Audrey P Petriny menekankan, model bisnis LCC bukan berarti mengorbankan keselamatan. Menurut dia, industri penerbangan itu sangat ketat terhadap peraturan, termasuk soal keselamatan dan keamanan.
"Ada standar keselamatan dan keamanan yang berlaku secara internasional yang harus dipenuhi oleh semua maskapai," ujar Audrey.
Jika peraturan-peraturan tersebut tidak ditaati, maka, kata Audrey, izin terbang maskapai bisa dicabut.
Hal senada disampaikan Andy Arisasmita, Ketua Umum Komunitas Penerbangan Indoflyer. Menurut dia, LCC hanyalah bagian dari strategi bisnis pemasaran. Hal itu tidak ada relasinya dengan keselamatan penerbangan.
"Highlight kebijakan yang dicetuskan oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan bahwa LCC berarti less cost for flight safety bisa dikatakan keliru," ujar Andy yang juga kapten pilot di maskapai LCC Citilink, Selasa (6/1).
Ia pun mengajak pihak-pihak yang meragukan komitmen maskapai LCC untuk memeriksa pelaksanaan pelatihan terhadap sumber daya manusianya (SDM) ataupun fasilitas pemeliharaan (maintenance) pesawatnya.
"Kami sebagai pilot juga memiliki standar keselamatan yang tinggi walaupun berkarier di perusahaan LCC karena taruhannya adalah nyawa," kata dia.
Andy menambahkan, pelatihan di maskapai LCC mempunyai standar yang tinggi. Ia menceritakan, jika seorang kapten tidak lulus tes kecakapan yang dilakukan di simulator secara berkala, maka otomatis ia akan dilarang terbang (grounded). Sementara itu, biaya untuk pelatihan di simulator tidak murah.
"Rata-rata 400 dollar AS per jam. Sekali masuk simulator, paketnya empat jam," kata Andy.
Soal perawatan pesawat pun, semua dilaksanakan sesuai maintenance manual dan MEL (minimum equipment list).
Sementara itu, konsultan dan pengamat dunia penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, persepsi LCC tidak aman merupakan pendapat yang sudah kedaluwarsa 20-30 tahun lalu.
Menurut dia, hal itu terbukti dengan tingkat keselamatan LCC di Indonesia yang semakin membaik dalam dua tahun terakhir.
!break!Prinsip value added
Menurut Gerry, model bisnis LCC itu menganut prinsip efisiensi dan value added. Dia mencontohkan makanan yang dijual sepanjang penerbangan (onboard meal), layanan bagasi berlebih, memilih kursi, dan prioritas boarding. "Jadi, apa yang butuh, ya bayar. Kalau enggak butuh, ya enggak usah beli," katanya.
Konsep value added yang dipaparkan oleh Gerry Soejatman tersebut juga diakui oleh Audrey. "Tiket LCC itu bisa terjangkau karena banyak faktor, seperti pengoperasian satu jenis pesawat, optimalisasi penggunaan pesawat, serta mengandalkan sistem teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi operasional," ujar Audrey.
Dengan menggunakan satu jenis pesawat saja (single fleet type), maka maskapai bisa berhemat dari banyak hal. Penghematan tersebut bisa berasal dari biaya perawatan dan suku cadang. Maskapai tidak perlu menyediakan suku cadang dari berbagai jenis pesawat.
Selain itu, mereka juga tidak harus berinvestasi lebih untuk melatih kru. Semakin banyak jenis pesawat yang dioperasikan, tentunya semakin banyak pula biaya pelatihan, mulai dari pilot, awak kabin, hingga teknisi pesawat dengan type rating yang berbeda-beda.
Selain itu, sebut Audrey, Indonesia AirAsia mendapatkan pemasukan dari bisnis non-inti (di luar tiket pesawat), seperti penjualan makanan dan minuman (pre-booked meal), bagasi, dan pemilihan kursi.
Dari bahan bakar sampai fotokopi bolak-balik
Seorang flight operation officer (FOO) sebuah maskapai LCC di Indonesia yang tidak mau disebut namanya menjelaskan bagaimana cara maskapai LCC menekan pengeluaran.
Menurut dia, maskapai LCC itu bisa menekan biaya karena mengurangi hal-hal yang tidak perlu. Penghematan dilakukan di semua hal yang dimungkinkan, dari hitung-hitungan bahan bakar sampai jumlah staf dan penggunaan alat kantor.
"Fotokopi saja sampai kita pakai kertas bolak-balik lho," ujar FOO tersebut.
Efisiensi bahan bakar juga disebut FOO itu menjadi faktor pendukung mengapa LCC bisa menekan biaya pengeluaran. Dengan perhitungan yang akurat, maka maskapai bisa menekan pengeluaran yang berlebih. "Fuel (bahan bakar) itu yang paling terasa (pengeluarannya), (kontribusinya bisa mencapai) 50 persen dari direct cost," katanya.
!break!Maskapai LCC memiliki berbagai siasat untuk menekan biaya pengeluaran bahan bakar, salah satunya adalah membuat flight plan (perencanaan penerbangan) yang tepat. Dengan demikian, pilot tidak akan meminta untuk menambah bahan bakar yang tanggung kalau memang tidak dibutuhkan.
"Ketika butuh (bahan bakar lebih), misal keadaan cuaca yang di atas ambang toleransi, baru ambil banyak sekalian," katanya.
Cuaca buruk di bandara tujuan memang kadang membuat pilot memutuskan untuk holding (menunggu sambil berputar-putar di atas) atau divert (mengalihkan pendaratan) ke bandara alternatif terdekat. Tentunya hal tersebut akan menambah konsumsi bahan bakar di pesawat.
Beberapa contoh penghematan lain yang dilakukan oleh maskapai LCC di Indonesia, menurut dia, adalah dengan tidak menggunakan fasilitas garbarata (jembatan yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu pesawat terbang). Maskapai LCC pada umumnya tidak menggunakan garbarata supaya tidak dikenai biaya oleh pihak bandara yang menyediakan fasilitas tersebut.
Jumlah staf yang dimiliki maskapai LCC juga dibuat seminimal mungkin, dari tingkat top management hingga karyawan kantoran biasa. Itu sebabnya struktur hierarki dalam maskapai LCC biasanya lebih ramping, tidak banyak vice president.
"Di kantor pun demikian, kalau (pekerjaan) bisa dikerjain satu orang, kenapa harus pekerjakan dua orang? Struktur organisasinya juga lebih flat, tidak lebar secara organisasi," ujar FOO tersebut.
Optimalisasi pesawat
Selain melakukan penghematan di berbagai pos, maskapai LCC juga mengejar pendapatan dengan cara optimalisasi dari jumlah pesawat yang ada.
Pesawat baru bisa menghasilkan uang kalau mereka terban. Itu sebabnya, turnaround time sebuah pesawat di maskapai LCC tergolong cepat, sekitar 30 menit di darat untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Sebagai contoh, sebuah pesawat yang terbang delapan rute dalam satu hari, jika waktu turnaround-nya sekitar 35 menit, maka di akhir hari, pesawat tersebut sudah menghabiskan waktu 80 menit di darat (setara dengan 1 jam 20 menit, cukup untuk terbang Jakarta-Denpasar).
"Daily utilization pesawat jadi terbuang, mending buat terbang," kata FOO tersebut.
Ia membandingkan, utilisasi pesawat di maskapai LCC dalam satu hari bisa mencapai 12 jam. Bandingkan dengan maskapai Garuda Indonesia yang full service, utilisasi pesawatnya per hari bisa hanya 7 jam.
Safety yang utama
Walau mengoptimalkan utilisasi pesawat, FOO tersebut mengakui bahwa soal safety dan perawatan adalah yang utama.
Penghematan yang dilakukan LCC bisa disebut untuk hal-hal tidak terlalu perlu. Hal-hal yang penting, seperti maintenance, training, dan safety, sama sekali tidak ada toleransi.
"Kalau soal maintenance, kami enggak berani (macam-macam), silakan tanya langsung ke inspektur DSKU bagian maintenance, mereka mengakui, kok," katanya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR