"Main ...?" suara Rifa semakin pelan sambil melihat ke arah gadget video game di tangannya.
Cukup sudah pembuktiannya. Sebagai hukuman, Rifa harus menulis di bukunya: \'Aku berjanji tidak pipis di kebun lagi\' sebanyak dua puluh kali dan selama satu hari dilarang menyentuh (apalagi memainkan) video game favoritnya.
"Ya Ma. Maaf Ma," sahut Rifa sambil berlalu menuju meja belajarnya. Matanya melirik ke arah adiknya dengan sorot mengancam. Lois dan Dika memang melatih anak-anak mereka bahwa tindak pelanggaran apa pun selalu ada konsekwensi yang harus diterima.
!break!Keesokan harinya, ganti Dika yang mendapat laporan.
"Pa, kata Papa kita enggak boleh buang-buang makanan kan?"
"O iya, sayang dong, " sahut Dika sambil menduga-duga ke mana arah pembicaraan ini.
"Adik tadi siang enggak habiskan makannya," kata Dika dengan wajah sangat serius. Merasa ayahnya terlalu lama merespons, ia langsung menyambung, "Harus dihukum dong Pa!"
Dika memeluk Lea, "Kenapa makanmu enggak dihabiskan, Sayang?"
Belum-belum Lea sudah menangis manja (memang ia selalu demikian dengan papanya). "Hua hua .... abis Eya uda kenyang."
Hukuman untuk Lea adalah berdiri di sudut ruang makan sementara semua orang makan malam di meja makan. Hanya lima menit berdiri, Lea sudah menangis hua hua dan hui hui, nyaris membuat ayahnya tak tega. Berkat lirikan maut istrinya, ia menahan diri. Lea makan sendiri setelah semua orang selesai makan. Tentu dengan ditemani ayahnya.
"Lea cengeng – Lea cengeng ...!" ejek Rifa.
Begitulah setiap hari kedua anak itu bergantian saling melaporkan. Dari kasus abang enggak bikin pe-er, adik tak mau tidur siang, abang membanting boneka Barbie, adik bawel dan tak mau bobo siang, dan seterusnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR