Hari-hari ini Dika dan istrinya, Lois, sedang pusing.
Sudah seminggu ini, Rifa (6) dan Lea (4) berisik terus. Semuanya bermula dari sekitar seminggu yang lalu. Lois sedang duduk menonton berita sore di TV, sepulangnya dari kantor. Alisnya mengkerut menyimak berita tentang perseteruan KPK dan Polri, ketika Lea datang melapor.
"Mama, tadi Abang pipis di kebun!" kata Lea dengan suara tinggi melengking.
"Ooo...h? Gimana kamu bisa tahu Nak?" kata Lois dengan wajah dibuat sangat terkejut.
Merasa mendapat angin, Lea langsung nyerocos, "Eya (begitu Lea menyebut dirinya) liat. Eya dengel: cuuu ...l, Eya lali ..., Eya intip. Naah! Ketangkep Abang pipis! Sini Ma ...." Serentak mengatakan demikian, ia menarik tangan ibunya ke arah taman. Di bagian pinggir kebun, ia menunjuk ke arah pohon kemuning di sudut.
Pohon kemuning itu adalah salah satu sudut pelarian Lois. Ia paling suka duduk di teras, di kursi paling ujung supaya ia dapat menikmati keharumannya. Baginya, aroma kemuning di malam hari adalah terapi gratis yang mampu menghapus segala rasa lelah setelah beraktivitas seharian.
Sore itu, keharumannya tercemar aroma pesing. Membuat segenap sarafnya tersinggung.
"Abaaaang .....!" suara Lois menjerit lantang. Segala tanda kepenatannya sirna.
Dalam waktu 10 detik tanpa suara Rifa sudah berdiri di dekat mereka. Melihat gelagat tak enak dan posisi mama dan adiknya, ia kira-kira tahu apa yang terjadi. Apalagi melirik wajah Lea yang tampak so happy and puas.
"Ya Ma?" suaranya dibuat semanis mungkin.
"Kamu pipis di bawah pohon kemuning?!" Pandangan dan nada suaranya tajam menusuk. Pada saat yang tepat, Lois bisa sangat mengerikan bagi anak-anaknya. Dan kini adalah salah satunya.
Rifa mengangguk pelan.
" Kenapa? Kan Mama sudah bilang, kamu tidak boleh pipis di kebun, di bawah pohon apa pun, atau di ban mobil Papa. Apalagi di dekat pohon kesayangan mama. Pipis harus di toilet."
"Iya Ma. Abis, tadi kebelet banget ...., lagi tanggung ...."
"Tanggung apa?"
"Main ...?" suara Rifa semakin pelan sambil melihat ke arah gadget video game di tangannya.
Cukup sudah pembuktiannya. Sebagai hukuman, Rifa harus menulis di bukunya: \'Aku berjanji tidak pipis di kebun lagi\' sebanyak dua puluh kali dan selama satu hari dilarang menyentuh (apalagi memainkan) video game favoritnya.
"Ya Ma. Maaf Ma," sahut Rifa sambil berlalu menuju meja belajarnya. Matanya melirik ke arah adiknya dengan sorot mengancam. Lois dan Dika memang melatih anak-anak mereka bahwa tindak pelanggaran apa pun selalu ada konsekwensi yang harus diterima.
!break!Keesokan harinya, ganti Dika yang mendapat laporan.
"Pa, kata Papa kita enggak boleh buang-buang makanan kan?"
"O iya, sayang dong, " sahut Dika sambil menduga-duga ke mana arah pembicaraan ini.
"Adik tadi siang enggak habiskan makannya," kata Dika dengan wajah sangat serius. Merasa ayahnya terlalu lama merespons, ia langsung menyambung, "Harus dihukum dong Pa!"
Dika memeluk Lea, "Kenapa makanmu enggak dihabiskan, Sayang?"
Belum-belum Lea sudah menangis manja (memang ia selalu demikian dengan papanya). "Hua hua .... abis Eya uda kenyang."
Hukuman untuk Lea adalah berdiri di sudut ruang makan sementara semua orang makan malam di meja makan. Hanya lima menit berdiri, Lea sudah menangis hua hua dan hui hui, nyaris membuat ayahnya tak tega. Berkat lirikan maut istrinya, ia menahan diri. Lea makan sendiri setelah semua orang selesai makan. Tentu dengan ditemani ayahnya.
"Lea cengeng – Lea cengeng ...!" ejek Rifa.
Begitulah setiap hari kedua anak itu bergantian saling melaporkan. Dari kasus abang enggak bikin pe-er, adik tak mau tidur siang, abang membanting boneka Barbie, adik bawel dan tak mau bobo siang, dan seterusnya.
!break!Setelah seminggu berlalu, Lois mengusulkan sebuah solusi untuk menghentikan rangkaian balas-membalas ini. Kebetulan keesokan harinya Rifa libur seminggu karena ruang kelasnya digunakan untuk ujian anak-anak Kelas 6.
"Rifa, besok kamu ikut Ayah pagi-pagi ya?" kata Lois sambil memasukkan beberapa baju dan celana Rifa ke dalam tas traveling.
"Asyik ... jalan-jalan Ma?" Rifa menyahut gembira. Kedua sudut bibirnya seolah hampir menyentuh telinganya.
"Iya .... kamu menginap di rumah Kakek. Tadi Kakek dan Nenek telepon, mereka sudah kangen banget sama anak Mama."
"Papa Mama ikut?"
"Enggak, Sayang. Kan Papa Mama kerja."
"Adik?" katanya melirik Lea yang diam-diam berdiri di ambang pintu kamar menyimak.
"Adik tinggal di rumah. Biar sama Papa Mama saja. Kan dia enggak libur."
Rifa cemberut. Ide yang tadinya begitu menyenangkan, entah kenapa, kini lebih tampak sebagai hukuman.
Keesokan harinya, malam hari menjelang tidur, sebelum Mamanya membacakan cerita, Lea bertanya, "Mama, kapan Kakak pulang?"
"Kenapa Nak? Bukannya kamu senang sekarang, tak ada Kakak?"
Sungguh mengherankan, Lea menggeleng-gelengkan kepalanya yang bulat. "Eya gambal sendili .... Jelek. Gambal Kakak bagus."
Lea memang gemar menggambar dan mewarnai. Dan ia sering diberi tahu Rafi bagaimana mewarnai supaya rata. Rafi suka memabntu mengasah pinsil warna, agar tidak terlalu runcing sehingga gampang patah. Kadang Rafi menambahkan dengan tokoh rekaannya sendiri. Sehingga di buku-buku gambar Lea muncul Superman di tengah gambar kucing dan anak-anaknya, atau Batman di tengah kebun bunga yang diwarnai Lea. Dan menurut Lea gambarnya jadi "bagus".
!break!Hari kedua, Mbak lapor kepada Mama, Lea tak banyak bermain atau menggambar. Ia banyak melamun. Makannya juga tak selera. Yang diceritakan hanya "Kalau ada Kakak, ...."
"Saya lalu menelepon Ibu Sepuh, biar Non Lea bisa ngobrol dengan Kakak. Ibu enggak marah kan? Abis kasihan Non Lea, Bu," ujar Mbak berbisik.
Dika pun tadi siang iseng-iseng menelepon ke rumah mertuanya. Menanyakan anaknya.
"Ooh kamu sudah kangen sama anakmu? Baru dua hari," sahut Nenek menggoda. "Dia baik kok. Asyik main dengan anak-anak tetangga. Tapi kalau anak-anak sebelah belum pulang sekolah, yang diceritakan Lea melulu. Adik pintar mewarnai. Adik enggak suka pisang, tapi mau kalau pisang dimakan dengan kacang, Adik pintar minum obat, ha ha ha .... Dan tahu enggak kamu? Lea itu nanti akan jadi istri yang pintar melayani suami. Kata Rifa, kalau dia pulang sekolah, Lea selalu mengambilkan sandal untuk kakaknya! Ha ha ha .... seperti istri zaman dulu meladeni suami kan? Ha ha ha ..."
"Trus, trus, trus, Ma?" kata Dika.
Ternyata telepon Nenek sudah berpindah tangan ke Kakek. "Mumpung anakmu sedang asyik di luar. Papa tadi tanya, \'Adikmu suka nakal enggak sama kamu?\' Dia jawab, \'Iya sih Kek. Bawel. Suka lapor-lapor sama Papa Mama.\' "
"Oh, jadi dia nakal? Tanyaku. Dia menggeleng, "Aku yang nakal, sebetulnya.\' He he he ... lucu anakmu. Aku bilang, \'Kalau adikmu nakal, Kakek mau usul, bagaimana kalau ditukar saja dengan si Lusy, adik Luwi anak sebelah. Eh, Rafi menggeleng-geleng keras sekali. \'Lusy jelek. Kalau Adik kan keren.\' Ha ha ha ...."
Pada hari keenam, Lea mengatakan kepada ayahnya, "Papa, kita jemput Kakak?"
"Iya Nak. Kamu senang?"
Lea mengangguk keras. Kegembiraan menyeruak dari kedua bola matanya yang bening.
Keesokan harinya mereka semua pergi menjemput Rifa. Di rumah, Dika dan Lois menanti-nantikan kapan aksi saling melaporkan akan mulai lagi. Ternyata episode tersebut telah dilupakan, walaupun pertengkaran mulai terjadi lagi. Tapi setiap kali Dika atau Lois mengingatkan kedua anak mereka tentang menginap seminggu di rumah kakek, anak-anak segera membicarakan soal lain.
Malam itu, Dika memeluk istrinya. "Idemu mengirim Rifa ke rumah Mama benar-benar brilian. Oooh, alangkah indahnya rumah yang damai ...."
Lois melirik dan tersenyum manis sekali. Lalu mereka tak lagi menyimak berita malam di TV yang menayangkan perkembangan berita tentang Polri dan KPK.
Alangkah damainya negeri kita, bila semua masalah dapat diperlakukan sebagai masalah dalam keluarga. Dalam keluarga, cinta menjadi kunci untuk memecahkan semua masalah. Dalam level negara, cinta dapat diterjemahkan menjadi \'itikad baik\'. Kunci yang selalu mampu mengubah yang rumit menjadi sederhana; bukan sebaliknya.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR