"Jaranan jaranan jaranan jaran kore. Sing numpak Ndoro Bei. Sing ngiring para mantri..."
Itu adalah lagu anak-anak dari Jawa, ketika saya kecil dulu. Sebuah lagu tradisional yang menggambarkan betapa populernya kuda-kuda asal Kore. Kore merupakan sebuah desa di pesisir utara Sumbawa, berada di pangkal Semenanjung Sanggar.
Desa ini memiliki pelabuhan nelayan yang ramai. Kore telah dikenal sebagai salah satu pemasok kuda dari Sumbawa. Di kawasan ini terhampar sabana yang menjadi arena kuda-kuda Kore. Namun, jumlah kuda asal Kore tidak sebanyak dulu lagi lantaran sabana tadi sebagian telah menjelma menjadi ladang-ladang jagung."Ladang jagung itu mulai ada sejak sekitar empat tahun lalu," ujar Jan, seorang warga Kore, yang rumahnya menjadi tempat kami bermalam. "Setiap panen bisa menghasilkan 70 juta rupiah."
Kore merupakan bagian dari Kerajaan Sanggar, salah satu kerajaan di kaki Tambora yang terdampak erupsi besar 1815. Kerajaan ini tampaknya kian meredup setelah terjadinya petaka tersebut. Lahan pertanian yang rusak berat telah menyebabkan warga yang mengungsi urung untuk kembali ke Sanggar. Nama kerajaan ini terakhir disebut pada 1926, ketika Hindia Belanda membuat wilayah Kerajaan Sanggar menjadi bagian wilayah Kesultanan Bima."Kerajaan Sanggar hancur bukan karena letusan Tambora, melainkan pertikaian keluarga," ujar As\'ad, salah seorang keturunan kerabat Kerajaan Sanggar. "Pusat Kerajaan Sanggar adalah di Boro, empat kilometer dari Kore."Dia juga mengungkapkan bahwa tak ada lagi catatan silsilah raja, "hanya ada tiga raja yang diketahui sebagai raja Sanggar."
Pada 17 Februari sore, bersama As\'ad kami menjelajahi repihan Kerajaan Sanggar. Kami mengunjungi makam leluhurnya yang terserak di kebun jagung. Nisan-nisan kuno bertatahkan ornamen rumit itu barangkali memang bagian dari simbol status orang yang dimakamkan. Menurutnya beberapa makam kuno telah tergusur pembangunan untuk lahan sekolah. Kami memasuki sebuah permukiman dengan blok-blok deretan rumah warga yang dihubungkan dengan jalan-jalan yang saling tegak lurus. Tidak ada rumah semasa yang tersisa. "Inilah bekas Kerajaan Sanggar," ujar As\'ad ketika melintasi sebuah jalan kampung. "Kita sekarang berada di dalamnya."
Permukiman lama sudah tak tersisa lagi. Namun, kami masih menjumpai struktur pagar kerajaan yang disusun dari batu. "Kita masih bisa melihat batu-batu. Luasnya 300 meter kali 270 meter," ujar As\'ad sambil menunjuk batu-batu yang membentuk garis lurus. Dia mengenang sambil berucap, "Di sinilah pusat kebudayaan Sanggar."
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR