Fenomena kematian beruntun yang dialami kelompok Orang Rimba di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, merupakan bencana kelaparan. Tanpa penanganan darurat dan cepat, angka kematian itu akan terus bertambah.
"Kejadian ini merupakan bencana kelaparan akibat krisis pangan," kata Robert Aritonang, antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, yang 20 tahun lebih mendampingi Orang Rimba.
Bencana serupa, lanjut Robert di Jambi, Selasa (3/3), pernah terjadi tahun 1999 dengan menewaskan 13 warga Orang Rimba. Wilayah itu mengalami paceklik, dan diperparah pembukaan hutan menjadi kebun dan hutan tanaman industri. "Pada masa itu, sekitar 30.000 hektar hutan yang menjadi sumber pangan Orang Rimba lenyap," ujarnya.
Saat ini, lanjut Robert, krisis pangan juga seiring dengan pembukaan hutan tanaman industri di sekitar area jelajah Orang Rimba. Sejumlah kelompok Orang Rimba yang melakukan tradisi melangun, yaitu berpindah tempat hidup akibat kesedihan setelah kematian anggota kelompoknya, untuk jangka waktu panjang malah mengalami kelaparan akibat ketiadaan sumber pangan di tempat hunian baru.
Dia melanjutkan, penanganan darurat harus dilakukan, berupa bantuan medis dan pangan. "Penyaluran bantuan bahan makanan sangat mendesak," ucapnya.
Kematian beruntun terjadi pada 11 orang dari sekitar 150 warga Kelompok Terap dan Kelompok Serenggam yang menetap di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun, Jambi. Warga Orang Rimba yang meninggal itu umumnya terjangkit batuk dan demam. Diperkirakan masih sekitar 60 warga, sebagian besar anak balita, terjangkit demam dan batuk (Kompas, 3/3).
Akibat bencana pangan itu, kelompok Orang Rimba di bagian timur TNBD itu tujuh kali melangun. Sebagian besar lokasi hunian barunya adalah pinggir desa, perkebunan kelapa sawit, dan kebun akasia yang sangat minim sumber makanan.
!break!
Belum mengetahui
Kepala Seksi Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sarolangun Rubiyo mengatakan, belum mengetahui kabar kematian beruntun pada kelompok Orang Rimba dalam wilayah kerjanya. Apabila ada laporan resmi, dinas akan ke lokasi untuk memberikan bantuan.
Rubiyo menganjurkan warga Orang Rimba yang masih demam dan batuk segera berobat ke puskesmas terdekat. "Pengobatan itu tersedia gratis, termasuk untuk warga pedalaman yang hidupnya masih nomaden," paparnya.
Fasilitator Kesehatan Orang Rimba Yomi Rivandi menambahkan, sejumlah warga yang mendapat rujukan berobat ke rumah sakit cenderung diabaikan petugas medis. Ada warga Orang Rimba yang menderita demam berobat di Rumah Sakit Umum Daerah Sarolangun, tetapi pulang tanpa memperoleh penanganan memadai. Warga itu pun akhirnya meninggal saat perjalanan kembali ke kelompoknya.
Menurut Yomi, Orang Rimba hidupnya seminomaden dan tidak memiliki kartu identitas kependudukan, tak memperoleh jaminan penanganan medis dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). "Bahkan, meskipun ditangani petugas medis, Orang Rimba harus membeli obat-obatan yang diberikan rumah sakit," ujarnya.
Catatan Kompas, masih sekitar 2.000 Orang Rimba hidup seminomaden di TNBD. Sekitar 1.600 jiwa lainnya tersebar di perkebunan, hutan tanaman industri, dan dusun di luar taman TNBD.
TNBD dan kawasan penyangganya terus digerogoti pembukaan lahan. Dari 130.000 hektar luas hutan Orang Rimba dalam ekosistem Bukit Duabelas di Kabupaten Sarolangun, Tebo, Merangin, dan Batanghari, kini tersisa hanya 60.400 hektar. Sumber obat alami dalam hutan yang biasa dimanfaatkan Orang Rimba kini semakin kurang.
Penulis | : | |
Editor | : | Ajeng |
KOMENTAR