Sebanyak 12 korban tewas akibat longsor di Kampung Cimerak, Desa Tegal Panjang, Kec Cireunghas, Kab Sukabumi Jawa Barat pada Sabtu (28/3) telah dievakuasi.
Sutopo Purwo Nugroho Kapusdatin Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, di Indonesia terdapat 40,9 juta jiwa (17,2% dari penduduk nasional) yang terpapar langsung oleh bahaya longsor sedang-tinggi. Dari total jumlah tersebut terdapat 4,28 juta jiwa balita; 323 ribu jiwa disabilitas, dan 3,2 juta jiwa lansia. Semua terpapar dari longsor pada saat musim penghujan.
Sebagian besar mereka tidak memiliki kemampuan menghindar dan memproteksi dirinya dari bahaya longsor.
Mitigasi bencana, baik struktural maupun non struktural masih sangat minim sehingga setiap musim penghujan longsor mengancam jiwa dan harta milik masyarakat. Bahkan pada tahun 2014, longsor adalah bencana yang paling banyak menimbulkan korban yaitu 408 jiwa tewas, 79.341 jiwa mengungsi, dan 5.814 rumah rusak.
Daerah rawan longsor sesungguhnya sudah dipetakan. Jabar, Jateng, dan Jatim adalah daerah yang paling banyak terjadi longsor. Selama 2005-2014 daerah yang paling banyak kejadian longsor adalah Kab. Wonogiri, Bogor, Wonosobo, Bandung, Garut, Banyumas, Semarang, Sukabumi, Cilacap, Cianjur, Temanggung, Ponorogo, Kebumen dan Purbalingga.
Badan Geologi telah mendistribusikan peta tersebut ke seluruh Pemda. Bahkan BNPB juga telah mengembangkan peta risiko bencana longsor yang memuat peta bahaya, kerentanan dan kapasitas. Namun demikian peta tersebut sebagian besar belum menjadi dasar dalam penyusunan dan implementasi rencana tata ruang wilayah.
Longsor dapat diantisipasi sebelumnya. Tidak mungkin semua wilayah di Indonesia harus dipasang sistem peringatan dini longsor. Sebab memerlukan ratusan ribu unit dan biaya yang sangat besar. Kuncinya adalah rencana tata ruang wilayah perlu ditegakkan. Sosialisasi dan peningkatan kapasitas pemda dan masyarakat terus ditingkatkan agar masyarakat tangguh menghadapi longsor.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR