HAMPARAN dasar laut muncul ke permukaan bumi jutaan tahun lalu, membentuk deretan pegunungan yang kini dikenal sebagai kawasan karst Cipatat, Bandung Barat. Di tengah gemuruh eksploitasi industri tambang batu kapur yang semakin marak, terselip oase keindahan alam bernama Taman Batu (Stone Garden).
Kisah tentang rusaknya kawasan Karst Cipatat, yang menyimpan begitu banyak jejak sejarah kebumian dan arkeologi, telah lama terdengar. Sejak era otonomi daerah dimulai, kawasan pegunungan kapur ini mulai ramai dikeruk perusahaan tambang.
Menurut data Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), sekitar 60 persen dari 10.000 hektar areal itu telah hancur karena penambangan. Diperkirakan ada sekitar 100 perusahaan tambang yang mengambil batu, kapur, marmer, serta mengolah tepung batu dan mengolah batu alam dengan 5.000 tenaga kerja di situ.
Penggalian kapur dan marmer dengan alat sederhana ataupun berat ini menghasilkan sekitar 700.000 ton hingga 1 juta ton kapur olahan per hari. Sebagian hasilnya, seperti marmer, dikirim ke luar negeri.
Karst yang semula merupakan dasar laut dangkal ini membentang mulai dari Desa Citatah hingga Desa Rajamandala, yang semuanya berada di wilayah Kecamatan Cipatat. Pagi itu, Jumat (15/5), debu gamping dan asap hitam yang bersumber dari pabrik pengolahan batu kapur mewarnai perjalanan kami ke Taman Batu yang berada di puncak bukit Pasir Pawon.
Bukit itu sendiri berada di wilayah administrasi Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Namun, karena berdekatan dengan kota Padalarang, masyarakat lebih sering menyebut lokasi geologi tertua di Pulau Jawa itu sebagai Kawasan Karst Padalarang.
Dari Kota Bandung, kami masuk ke gerbang Tol Pasteur lalu menyusuri jalan Tol Purbaleunyi dan keluar di pintu Tol Padalarang. Begitu keluar tol, kami mengambil jalan ke arah Cianjur dan melalui kota kecil Padalarang.
Kota itu seperti diselimuti kabut tipis, yang ternyata merupakan debu putih batu-batu gamping dari kawasan tambang. Debu gamping bercampur dengan asap hitam yang mengepul dari cerobong asap pabrik membuat suasana terasa pengap meski kami berada di dalam mobil berpenyejuk ruangan. Perjalanan bertambah padat oleh truk-truk besar pengangkut bongkahan batu gamping yang berjalan merayap saat mendaki bukit.
Hanya sekitar 4 kilometer setelah pintu tol, kami melihat pemandangan menakjubkan sekaligus ironis. Dari jalan raya yang menghubungkan Bandung-Cianjur-Jakarta itu tampak tebing-tebing kapur terukir indah di perbukitan yang hijau oleh pepohonan. Namun, sebagian tebing itu tergerus oleh alat-alat berat yang mengikisnya untuk keperluan industri.
Mencari jalan masuk Pasir Pawon tidak terlalu sulit karena kami memanfaatkan navigasi dari aplikasi Waze di gawai. Untuk menuju bukit Pasir Pawon, tempat Taman Batu berada, kami harus melewati beberapa pabrik batu kapur. Lalu-lalang truk dan kendaraan alat berat lainnya tampak di sepanjang jalan sempit menuju Pasir Pawon.
!break!Menhir kapur
Hamparan lahan luas di sela timbunan pecahan batu kapur menjadi lahan parkir yang disediakan warga bagi pengunjung Taman Batu. Ini adalah akses paling mudah menuju Taman Batu. Adapun akses lain menuju ”perkebunan” batu itu bisa dilalui dari Gua Pawon yang berada di sisi lain bukit Pasir Pawon. Hanya saja, jalur dari Gua Pawon menuju Taman Batu cukup terjal dan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki selama 40 menit.
Deretan warung kaki lima menutup lereng bukit Pasir Pawon hanya menyisakan celah untuk jalan setapak menuju puncak Taman Batu. Warga telah memperbaiki jalan setapak itu dengan pecahan-pecahan batu kapur bercampur tanah dan membuat anak tangga di beberapa bagian.
Namun, hati-hati jika berkunjung ke tempat ini saat musim hujan. Batu-batu kapur bercampur tanah itu bisa menjadi licin saat terkena air. Untuk berjalan kaki ke lokasi Taman Batu yang berada di ketinggian sekitar 700 meter dari permukaan laut ini hanya dibutuhkan waktu 10-15 menit.
Benar saja. Begitu tiba di puncak Pasir Pawon, mata disambut oleh sebuah ”taman” indah yang terbentuk dari begitu banyak tonjolan batu, sekilas seperti tumbuh dari dalam tanah. Batu-batu besar itu ”tumbuh” hingga ke lereng-lereng bukit Pasir Pawon hingga pantas saja jika warga menyebutnya sebagai taman batu.
Di beberapa tempat, tampak batu-batu besar menjulang tegak yang oleh warga setempat disebut sebagai menhir. Ada juga bebatuan yang posisinya saling berhadapan seperti pintu gerbang. Hamparan lembah yang hijau dan areal persawahan menjadi pemandangan yang patut dinikmati dari celah gerbang tersebut.
”Taman Batu ini baru dibuka dan dikelola warga pada delapan bulan lalu,” kata Asep, salah satu warga Pasir Pawon. Warga mulai mengelola tempat tersebut karena melihat banyak orang datang setiap akhir pekan.
Semakin sore, semakin banyak pengunjung datang. Warna jingga dari senja yang turun di balik cakrawala seperti menghipnotis mereka yang ingin menikmati alam dari atas bukit.
Untuk keindahan tak terkira itu, warga menarik ongkos parkir sebesar Rp 5.500 per mobil dan uang masuk kawasan Rp 12.500 untuk satu rombongan. Sangat murah bukan?
Di Taman Batu itu, kata Asep, banyak pengunjung mencoba mencari jejak terumbu karang. Kami pun mencoba mencarinya, tetapi sayang gagal menemukan bebatuan yang masih menyisakan bentuk terumbu karang mengingat begitu banyak batuan tersebar di situ.
!break!
Jutaan tahun silam
Kawasan Karst Cipatat terbentuk pada zaman Miosen, 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006). Pada masa purba, daerah karst itu merupakan dasar laut dangkal. Batuan kapur tersebut dibentuk oleh terumbu karang yang dulunya berada di dasar laut. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dulunya dataran tinggi Bandung merupakan wilayah laut dangkal yang kemudian mengering.
Laut yang kering itu kemudian menjadi hunian manusia prasejarah. Temuan arkeologi di Gua Pawon, yang lokasinya di bawah Taman Batu, membuktikan bahwa gua-gua di situ telah dihuni setidaknya pada masa 9.500 tahun lalu.
Hendi, juru pelihara Gua Pawon, mengatakan, masyarakat purba yang tinggal di gua-gua karst itu sudah mampu menggunakan alat untuk bertahan hidup di alam liar. Beberapa alat yang digunakan manusia prasejarah itu, tutur Hendi, pernah ditemukan di Taman Batu yang luas arealnya mencapai 2 hektar.
Bukit Pasir Pawon merupakan satu dari sekian banyak bukit di Cipatat yang menjadi bukti sejarah geologi tertua di Pulau Jawa. Selain Pasir Pawon, bentang alam lain yang mengandung data geologi penting adalah Gua Pawon, Pasir Masigit, Pasir Pabeasan, Pasir Hawu, Karang Penganten, Pasir Bancana, dan Pasir Manik.
Seluruh kawasan itu kini dinyatakan sebagai kawasan vital yang perlu terus dijaga. Namun, laju perusakan masih terus terjadi. Tampaknya belum ada kemauan dari pemerintah setempat untuk menghentikan kegiatan eksploitasi yang berlebihan itu. Keindahan Taman Batu bisa saja lenyap setiap saat demi kepentingan ekonomi sesaat.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR