Bisakah Anda jatuh cinta pada suatu tempat walau belum pernah ke sana? Jika pertanyaan ini ditanyakan pada Sven Verbeek, jawabannya tentu saja ya!
Pria kelahiran Belanda ini telah melakukan riset lebih dari 25 tahun tentang Tanah Abang, wilayah permukiman pendatang pada zaman Hindia Belanda yang kini berubah menjadi pusat perdagangan pakaian besar, riuh, dan macet.
Ketertarikannya pada Tanah Abang berawal dari cerita-cerita neneknya, Welly van Garderen, yang menghabiskan masa mudanya di sana.
"Bagi saya, itu seperti hidup di planet lain. Hangatnya udara, pepohonan, burung-burung, buah-buah tropis, orang Indonesia yang ramah, dan rumah yang lapang," kisah Sven dalam laman Facebook yang didedikasikan untuk Tanah Abang.
Kepada BBC Indonesia, Sven yang kini tinggal di Australia mengatakan bahwa empat generasi leluhurnya pernah tinggal di sana dari 1863 hingga 1948, ketika mereka memiliki empat rumah yang dikenal dengan Tanah Abang Heuvel (atau Bukit Tanah Abang).
"Dia (nenek) bisa bicara berjam-jam tentang masa kecilnya. Berjalan tanpa alas kaki ke rumah sebelah yang ditinggali kakek dan neneknya. Mengendap-endap keluar jendela malam hari dengan kakak laki-lakinya ke Pasar Tanah Abang untuk membeli sirup susu dan kolang kaling."
Setelah nenek Sven meninggal, dia mulai mencari arsip-arsip foto, cerita, dan peta di Belanda. "Sejak saya belajar mengenal Scott Merrillees, penulis Batavia In 19th Century Photographs, pada 2000, saya berbagi ketertarikan saya dengan dia dan berbagi foto-foto historis. Kami telah menjadi teman baik dan memiliki kecintaan besar pada sejarah Jakarta."
Berfoto kembali
Pada 1995, Sven barulah berkunjung ke Tanah Abang. Dan, pada Mei 2015 lalu - tepat 88 tahun kakek dan neneknya menikah di Bukit Tanah Abang - Sven bersama Scott dan Sahabat Museum menyelenggarakan tur sejarah di sana.
"Saya berniat berfoto kembali di titik yang sama ketika kakek saya berdiri dan duduk. Meskipun ini adalah momen istimewa, sangat sulit bernostalgia tentang kehidupan pada 1927 karena perubahan yang sangat dramatis. Dan karena kemacetan dan kebisingan pasar, sulit untuk berefleksi dan berkontemplasi. Seperti Anda lihat di foto, tidak ada yang terlihat sama."
"Jujur saja, area ini tidak semakin menarik dan sangat sibuk, berantakan dan berisik hari ini. Dan banyak bangunan bersejarah telah dihancurkan. Seseorang bisa menjadi sedih dengan cepat karena banyaknya perubahan ini."
Sven mencatat bahwa pada 1995 lalu masih ada 25 hingga 30 bangunan Belanda sebelum Perang Dunia II yang masih berdiri di Jalan Abdul Muis dan Jalan Tanah Abang Timur. Kini yang tersisa kurang dari lima.
Namun di sisi lain, dia mengaku harus realistis. Populasi Jakarta telah menggendut dari 300.000 orang pada tahun 1920-1930 menjadi 12 juta sekarang. Tanah Abang memang harus "berubah".
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR