Pada awal dia berada di Afrika, dia melihat perilaku seperti manusia yang mencolok. Di penelitian awalnya dia menyebut simpanse sebagai “dia” daripada “makhluk itu”.
Dia juga memberi mereka nama, sesuatu yang sebelumnya tidak terdengar secara akademis, dan mulai menjelaskan kepribadian unik mereka. “Penggunaan alat telah dianggap sebagai kemampuan khusus manusia”
Dia juga menemukan bahwa mereka memakan daging: mereka bukan vegetarian sebagaimana anggapan selama ini. Dan untuk mendapatkannya mereka menggunakan alat-alat. Dia menyaksikan simpanse memancing rayap dengan ranting.
Ini adalah sebuah penemuan yang mendasar. Sampai dengan saat itu, penggunaan alat telah dianggap sebagai kemampuan khusus manusia. Kepala proyek penelitiannya saat itu, ahli paleoantropologi Louis Leakey mengatakan: “Sekarang kita harus mendefinisikan ulang \'alat\', mendefinisikan ulang \'manusia\' atau menerima simpanse sebagai manusia.”
Di saat yang bersamaan, de Waal sedang melakukan penelitian terhadap simpanse di Kebun Binatang Arnhem, Belanda. Dia menyaksikan banyak perilaku sosial yang rumit, dan merasa putus asa karena kurangnya studi mengenai mereka. “Buku-buku biologi saya menjadi tidak berguna,” katanya.!break!
Simpanse sangat pintar saling membaca ekspresi wajah
Sekali waktu, sebagaimana telah dituliskan Darwin 100 tahun lebih awal, de Waal juga mencatat bahwa menggelitik anak simpanse menyebabkan respon senyuman yang sama dengan anak-anak. Sebuah studi yang dipublikasikan pada bulan Mei 2015 telah menunjukkan bahwa otot-otot yang sama terlibat ketika simpanse dan manusia tersenyum.
Berbagai ekspresi luar biasa dari wajah kita mungkin saja unik, tetapi lihatnya wajah simpanse lebih lama, dan anda akan mulai melihat suat persamaan rumit yang menampilkan senyum dan tawa.
Kita juga mengetahui bahwa mereka sangat pandai saling membaca ekspresi wajah. Begitu juga monyet. Kemampuan sosial simpanse adalah dasar bagi tingkah laku yang tadinya dianggap sebagai satu-satunya milik manusia: moralitas.
Moralitas dapat dikatakan mencakup keadilan, altruism dan empati. Selama berabad-abad moral kita menjadi hal utama untuk menujukkan kemanusiaan kita. Kita telah begitu lama mempercayai bahwa tingginya penalaran dan empati kita menjauhkan kita dari hewan-hewan.
Kita mengetahui bahwa anak-anak memiliki rasa keadilan yang kuat dari usia muda. Misalnya, mereka akan berbagi dengan teman-temannya , bahkan jika hal itu jelas merugikan mereka. Mereka juga tampak altruistic secara alami: mereka akan menolong mengangkat benda yang terjatuh tanpa disuruh sejak usia semuda 14 bulan. Tetapi hewan-hewan juga memiliki rasa keadilan yang tidak dibuat-buat juga.
Pada 2003, de Waal telah menerbitkan penelitian yang mengamati bagaimana monyet capuchin bereaksi terhadap pembayaran yang berat sebelah. Setelah dua ekor monyet itu menyelesaikan tugas yang sama, seharusnya keduanya menerima hadiah ketimun dengan bahagia. Tetapi ketika salah satunya secara acak diberikan anggur yang enak, monyet lainnya menjadi tidak senang dan menolak ketimun.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR