Jamartin Sihite dalam diskusi "World Orangutan Day" yang diselenggarakan pada Rabu minggu lalu (19/8) mengatakan, "permasalahan orangutan akan dianggap selesai bila pusat rehabilitasi orangutan di Indonesia berkurang dan tidak ada sama sekali." Ia pun menambahkan bahwa Indonesia boleh saja berbangga karena memiliki pusat rehabilitasi orangutan terbesar di dunia. Padahal sebenarnya ada suatu permasalahan yang harus diselesaikan.
CEO dari Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSS) tersebut menyampaikan beberapa proses bagaimana dirinya dan timnya turun tangan, membantu orangutan yang habitatnya kini semakin menyempit. Prosesnya tersebut adalah Rescue, Rehabilitation, Reintroduce, dan Release
Rescue
Dalam penyelamatan orangutan, yang diselamatkan adalah orangutan dari alam liar atau yang dipelihara oleh orang. Semua orangutan yang datang adalah orangutan dengan kondisi apapun. Ada yang patah kaki, patah tangan, atau di tubuhnya bersarang 40 butir peluru. Selain itu, tidak menjamin semua orangutan yang masuk pusat rehabilitasi dapat dilepasliarkan semua ataupun tetap hidup, akibat dari sakit yang dideritanya .
Rehabilitation dan Reintroduce
Dalam proses rehabilitasi, semua orangutan direhabilitasi di hutan, "Goal kita adalah mengajarkan mereka kembali untuk menjadi liar," ujar Jarmatin. Tak hanya orangutan dewasa yang diajarkan menjadi liar, namun juga orangutan yang masih annak-anak.
Karena pada dasarnya, anak-anak orangutan masih membutuhkan induknya selama 9 tahun, "dan mereka (para relawan) harus menggantikan posisi ibunya yang telah tiada."
Namun, bila ada orangutan yang didatangkan dari tempat "mucikari", di mana manusia telah menjadikan orangutan sebagai fantasi liar seks mereka, proses rehabilitasi orangutan tersebut akan berbeda dengan orangutan lainnya, "ada beberapa relawan yang lulusan psikologi yang turut membantu merehabilitasi," ujarnya saat ditemui setelah diskusi.
Release
Dalam pelepasan orangutan, dibutuhkan proses yang panjang. Harus dipilih lokasi atau hutan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Orangutan pun harus yang sudah siap untuk dilepasliarkan. Tidak semua orangutan lolos dalam penilaian untuk dilepaskan. Contohnya, di tempat rehabilitasi ada dua orangutan yang handicap, yang satu tidak memiliki tangan dan yang satu lagi tidak memiliki mata.
Dalam perjalanan menuju pelepasan, orangutan dicek kesehatannya selama dua jam sekali, "jadi yang menentukan bukan kuatnya kita (manusia) tapi mereka (orangutan)."
Dari semua proses yang telah dilakukan, yang dibutuhkan adalah kerjasama antar tim. "Yang diberi penghargaan seharusnya bukan kita yang berada di sini, tetapi mereka (relawan) yang berada di lapangan. Yang rela turun ke rawa dan mencari lokasi yang tepat untuk orangutan."
Tidak hanya itu, pekerjaan akan dianggap selesai bila orangutan sudah menjadi liar atau tidak mau didekati oleh manusia, "pernah kami mencoba mendekat ke orangutan yang telah kami lepaskan. Hasilnya? Kami diusir. Dan di situ kami mengetahui baha kami telah berhasil."
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR