Tatkala berkunjung ke Klenteng Cu An Kiong di Lasem, perhatian saya tertumpu pada selembar kain berdekorasi naga yang menghias meja persembahan.
Kembali saya mengingat altar-altar keluarga pemilik rumah kuno di Lasem yang juga memajan kain penutup meja berdekorasi naga, naga dan burung hong, Delapan Dewa, kilin, dan berbagai simbol lainnya. Tak hanya di Lasem, kain batik dengan motif tradisional Cina ini juga digunakan di meja altar kaum peranakan di sepanjang pesisir pantai utara seperti Cirebon, Pekalongan, Semarang, dan Tuban.
Kain batik penutup altar berukuruan sekitar satu meter persegi ini disebut tokwi dalam bahasa Hokkian, atau Zhuo Wei dalam bahasa Mandarin. Awalnya, kain tokwi di Cina merupakan kain penutup altar yang menggambarkan perpaduan antara motif Taois dan Buddhis. Diduga, kain tokwi populer pada masa Dinasti Tang sekitar abad ke-8 atau ke-9. Awalnya pula, tokwi dibuat dengan teknik sulaman.
Penggunaan kain penutup altar terus bertahan melintasi berbagai masa dinasti. Aneka warna benang sulam pun digunakan—merah, hijau, kuning, biru, ungu, hitam, putih, dan emas.
Awalnya, kain tokwi di Cina merupakan kain penutup altar yang menggambarkan perpaduan antara motif Taois dan Buddhis. Diduga, kain tokwi populer pada masa Dinasti Tang sekitar abad ke-8 atau ke-9.
Tokwi dengan detail sulaman mewah dengan dekorasi simbol religius banyak digunakan oleh bangsawan dan saudagar di Cina. Zaman berganti, kain tokwi pun diperkaya dengan kombinasi hiasan ikatan benang, manik, cermin, dan metal. Tokwi semakin mewah memukau.
Seiring dengan migrasi orang Cina, tokwi pun menyebar ke penjuru dunia. Di Asia Tenggara, tokwi pun berubah rupa. Tokwi batik menjadi ikon peranakan Cina di Asia Tenggara terutama di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Namun, satu hal yang tak dapat dipungkiri: Kreasi batik tokwi menjadi karya yang muncul dari tanah Nusantara. Munculnya tokwi di Indonesia menggambarkan bentuk adaptasi budaya Cina dalam batik Nusantara yang telah menjadi tren sejak abad ke-19.
Batik tokwi digunakan kaum peranakan Cina untuk menghias altar pada pelbagai kesempatan upacara daur hidup keluarga—ulang tahun, pernikahan, kematian serta upacara-upacara tradisional Cina. Kain memiliki pakem motif yaitu Tiga Dewa (Fu Lu Shou), Delapan Dewa, naga, burung hong, singa, kilin, kelelawar, kupu-kupu, geometris, flora dan fauna, buah-buahan.
Batik Tokwi pun seolah ingin tampil beda, penggunaan elemen lokal membuat Tokwi asal pesisir utara Jawa ini berbeda dengan Tokwi asli tanah leluhur. Adaptasi warna dan motif pun terjadi dengan munculnya warna sogan, merah bata, motif hewan laut, motif flora fauna lokal dan motif bunga eropa seperti buketan berpadu dengan motif pakem tradisi Cina.
Terdapat beberapa motif yang dapat ditemukan dalam kain tokwi. Motif utama yang menjadi pusat tokwi biasanya menggambarkan tiga dewa (san xing tiga bintang) Fu Lu Shou, Dewa Keberuntungan, Dewa Kemakmuran, Dewa Panjang Umur pada bagian utama kain Tokwi. Motif lainnya adalah Naga yang biasanya digunakan sebagai simbol kekaisaran juga bermakna keagungan, kekuatan, kewaspadaan, dan kebaikan.
Motif burung hong kerap digunakan sebagai simbol keindahan, kecantikan, perdamaian dan kemakmuran. Motif naga dan burung hong sering muncul bersama sebagai simbol harmonisasi Yin dan Yang, keagungan dan keindahan, kekuatan dan kecantikan, keduanya sering pula menjadi simbol kebahagiaan dalam upacara pernikahan. Biasanya Towki juga memiliki motif Delapan Dewa pada bagian atas penampang Tokwi. Hal ini dimaknai terdapat dunia atas yang ditinggali oleh oleh para dewa dan dunia bawah yang diisi oleh aneka mahluk, flora dan fauna.
Jika awalnya batik tokwi merupakan buah adaptasi budaya Cina Jawa, ia akan bertahan sebagai saksi abadi tentang sejarah dan dinamika multikultur di Lasem.
Saat ini penggunaan Batik Tokwi sangat terbatas. Pembatik-pembatik unggul Lasem menyatakan bahwa Tokwi berbahan batik saat ini kurang diminati. Sigit Witjaksono menyebutkan bahwa ia hanya membuat batik tokwi berdasar pesanan. “Dulu kami produksi tokwi banyak ya, sekarang hanya tunggu pesanan saja. Kebanyakan yang pesan sih kolektor,”ujar maestro batik Lasem itu.
Senada dengan Sigit, Henry Ying menyebutkan bahwa tokwi klasik Lasem tak banyak lagi yang menghendaki. “Mungkin karena yang produksi juga sedikit jadi orang-orang juga sulit mendapatkan tokwi. Lalu, tokwi impor tampaknya lebih megah, ya?” ujar Henry.
Kini, batik tokwi mungkin saja akan tersingkirkan oleh tokwi impor. Jika awalnya batik tokwi merupakan buah adaptasi budaya Cina Jawa, kelak ia akan bertahan sebagai saksi abadi tentang sejarah dan dinamika multikultur di Lasem.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR