“Ya, memang perubahan iklim mengakibatkan naiknya permukaan laut. Namun, masalah terbesar bagi Jakarta adalah ancaman tenggelam,” ujar Jan Jaap Brinkman. “Banjir bandang pada 2007 lalu benar-benar tak terduga. Hari itu, tak ada sedikitpun awan di langit.”
Jan Jaap Brinkman merupakan ahli hidrologi dan pakar penurunan lahan dari Deltares Institute, Belanda.
Saat banjir terjadi, Brinkman merupakan salah seorang anggota konsorsium yang terdiri atas beberapa lembaga penelitian asal Belanda. Mereka diminta oleh pemerintah Indonesia untuk memberi solusi untuk mempertahankan dan memulihkan jalur-jalur air yang tersedia, tak lama besrelang setelah banjir musiman tahun 2007.
Lagi-lagi, ibukota dihantam air. Namun, kali ini, air datang dari laut. Banjir kali itu berdampak pada lebih dari 2,6 juta orang. 340 ribu terpaksa mengungsi. Sebanyak 70 orang meninggal, dan menyebarnya penyakit berakibat pada lebih dari 200 ribu orang.
Kerugian ekonomi dan finansial akibat bencana tersebut diperkirakan sebesar 900 juta dollar Amerika. Brinkman, bersama tim penelitinya, menemukan bahwa banjir besar dari laut bisa dikalkulasi secara rinci dan diperkirakan menggunakan siklus bulan. Banjir macam ini terjadi 18-19 tahun sekali. Pasang naik luar biasa selanjutnya diperkirakan terjadi tahun 2025.
Sementara itu, permukaan lahan Jakarta menurun drastis. Penurunan ini berkisar antara 7,5 hingga 25 cm setiap tahun. Air dari laut pun akan masuk ke kota, dan 40 persen ibukota memang hitungannya sudah berada di bawah permukaan laut. Jadi, titik terendah kini terletak di kota, dan bukanlah di laut. “Bayangkan bila lahan Jakarta terus menurun seperti sekarang. Seberapa hebat bencana yang akan ditimbulkan banjir besar selanjutnya?”
Kisah pendek ini bagian dari Proyek Utarakan Jakarta – Speak up (North) Jakarta lewat laman www.utarakanjakarta.com. Proyek ini bertujuan untuk mengabarkan dan meningkatkan kesadaran tentang banjir di Jakarta, sekaligus menunjukkan urgensi untuk melindungi Jakarta dari banjir.
Utarakan Jakarta menggambarkan kehidupan empat warga yang hidup di balik tembok laut di Jakarta Utara. Gambaran tersebut menangkap soal perjuangan mereka melawan banjir, rumah yang terendam dan harga air minum di sebuah kota yang di ambang tenggelam. Kampanye memperlihatkan kekhawatiran, mimpi dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Simak juga kisah keempat warga tadi dalam "Di Balik Benteng Laut" yang terbit di Edisi Spesial National Geographic Indonesia edisi November 2015.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR