Kirkatir merupakan hewan yang setia dan semangat, stabil, tak suka mengeluh, serius, si gigi tonggos yang tabah namun lemah terhadap kue kering dalam kemasan. Benar, dia tak lagi muda. Bibir karetnya kendur dan keriput. Kukunya bergemerincing perlahan sepanjang jalan batu.
Tapi dia bijaksana. Dia tidak bodoh. Dia terlahir seperti musafir, tahu semua trik di jalanan terbuka. Dia bernaung di bawah terik matahari. Dia mematuhi aturan utama berjalan jarak jauh: membuat cadangan lemak. (Hujan atau cerah, dia makan tanpa lelah, terus-menerus, yang satu ini mungkin dikatakan sakit saraf: Saya pernah melihatnya menggali untuk memakan rumput yang mati tertimbun salju musim dingin).
Ia telah menjadi pendamping bisu saya melintasi sebagian besar wilayah Turki. Makhluk dunia yang letih, lahir dari jejak sejarah debu merah di Asia Kecil. Mata hitamnya tak terkesan dengan keindahan dunia yang tak berubah: deretan pepohonan anggur yang subur, urat-urat Sungai Efrat yang berkelok, tudung es Pegunungan Kaukasus yang bersinar. Setiap subuh selama lima bulan, di masjid-masjid, atau di pondok batu, atau berkemah di bawah pohon pistachio, saya telah memberlakukan sebuah ritual: menatap Kirkatir sembari terkantuk-kantuk. Melihatnya terpancang saat lansekap bergulir, membuat saya dapat bersantai. Dia membuat saya berlabuh ke Anatolia. Saya menjalani kehidupan dengan seekor bagal.
Namun tak seorang pun menginginkannya!!break!
Jarak bermil-nil telah ditempuh. Hari-hari berlalu, minggu pun berganti. Perbatasan Georgia tampak samar-samar. Saya bertanya pada etnis Kurdi. Saya bertanya pada etnis Turki dan Azeri.
"Kami tidak menggunakan bagal lagi di sini," ujar penduduk desa sembari mengangkat bahu. Masyarakat pedesaan mengendarai traktor sekarang. Perangkat kerja hemat tenaga mereka membakar diesel, bukan jerami. Petani saat ini tidak memerlukannya untuk hewan ternak.
"Kita harus menemukan orang yang tepat," kata Murat Yazar, pemandu Kurdi saya, khawatir. "Kita tidak bisa melepaskannya begitu saja. Dia akan dimakan serigala."
Jadi kami berjalan melewati tebing di timur laut Turki. Kami mendaki lembah hijau sungai, menyibak melintasi stepa sewarna jerami, berjuang melalui kawasan salju yang brilian, menjajakan satu-satunya barang dagangan kami dengan berbagai sanjungan: Apakah Anda ingin bagal yang baik? Apakah Anda memerlukan bagal yang setia? Maukah Anda menggunakan bagal kelas satu?
Di luar Posof, orang tua renta menjajari langkah kami. Dia ramah. Ingin tahu. Miskin. Berpakaian serba hitam seperti gagak. Murat mengisahkan padanya sebuah cerita: bagal kami begitu berpendidikan sehingga dia harus mengenakan kacamata. Dia sama kuatnya dengan sepuluh pegulat. Dia lembut seperti nenek Anda. Dia telah menyelesaikan perjalanan sejauh 700 mil atau lebih di Anatolia, sepanjang jalan dari Mersin, dari Mediterania yang beruap, di mana saya membelinya dari seorang penebang kayu bernama Ahmed. Ahmed adalah seorang Alevi, anggota dari sebuah aliran Islam minoritas yang sering ditekan, dikenal karena toleransinya, keterbukaannya dan untuk gaya hidup komunal.
"Aku akan mengambil bagalmu," ujar orang tua tersebut.
"Dan Aku berjanji akan merawatnya dengan baik."
Saya dan Murat berhenti. Kami saling memandang, pusing. Kami hampir kehabisan nafas akibat pendakian. Orang tua itu memberitahu kami bahwa ia juga seorang Alevi. Dan namanya juga Ahmed. Di puncak bukit telanjang ini, bersama Kirktatir, di mana seluruh Turki terbentang kearah barat di belakang kami, kami mulai tertawa. Sebuah lingkaran pun berakhir.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR