Nationalgeographic.co.id - Kodok beracun menginvasi Taiwan, membuat pemerintah dan pemerhati lingkungan di negara ini menahan laju penyebaran kodok jenis tersebut.
Ya, belakangan warga Taiwan dibuat repot oleh kodok tebu (Rhinella marina). Kodok tebu adalah spesies kodok yang sangat beracun yang berasal dari Amerika, dari Amazon Tengah di Peru hingga Lembah Rio Grande di Texas. Namun, spesies ini juga diperkenalkan di seluruh dunia pada awal abad ke-20 ke berbagai tempat, termasuk Karibia, Australia, dan sebagian besar Pasifik, menurut Amphibia Web.
Katak tebu dewasa panjangnya berkisar antara 9 hingga 15 sentimeter dan memiliki kulit kuning dan coklat yang ditutupi dengan kutil yang tidak beraturan. Saat terancam, kodok tebu melepaskan racun putih susu dari kulit mereka yang dikenal sebagai bufotoxin, yang keluar dari kelenjar di belakang mata mereka dan mematikan bagi sebagian besar hewan.
Para peneliti di Taiwan mengetahui kemungkinan invasi kodok tebu di sebuah peternakan di sebuah kota kecil di pegunungan tengah Taiwan, setelah seorang penduduk setempat membagikan foto-foto kodok tebu secara daring. Setelah melihat foto tersebut, peneliti dari Taiwan Amphibian Conservation Society langsung datang ke peternakan untuk menyelidiki.
Baca Juga: Hasil Studi: Praktik Kanibalisme Kecebong Kodok Tebu di Australia
"Operasi pencarian yang cepat dan besar-besaran sangat penting ketika kodok tebu pertama kali ditemukan," ujar Lin Chun-fu, ilmuwan amfibi di Institut Penelitian Spesies Endemik Taiwan.
“Mereka berkembang biak dengan cepat, dan mereka tidak memiliki musuh alami di Taiwan," tambahnya.
Ketika para peneliti tiba di peternakan, mereka menemukan 27 kodok di sekitarnya. Sejak itu, mereka telah menangkap lebih dari 200 kodok tebu di daerah sekitar kota.
"Saya terkejut dan khawatir ketika mereka menemukan lebih dari 20," tutur Yang Yi-ju, ahli katak di Universitas Nasional Dong Hwa.
Kodok tebu adalah spesies invasif yang sangat sukses. Mereka hanya asli dari 14 negara tetapi sekarang ditemukan di lebih dari 40 negara, yang menempatkan mereka dalam daftar 100 Spesies Invasif Terburuk yang diawasi oleh Grup Spesialis Spesies Invasif, sebuah badan penasehat internasional yang terdiri dari ilmuwan dan pakar kebijakan.
Kodok tebu betina dapat bertelur hingga 30.000 telur sekaligus dan dapat kawin sepanjang tahun. Tidak seperti kodok lainnya, yang secara eksklusif merupakan predator, kodok tebu juga dapat bertindak sebagai pemulung, sehingga mereka selalu memiliki banyak makanan untuk dimakan. Tanpa pemangsa alami, jumlah mereka dengan cepat meledak, dan mereka dapat secara serius merusak ekosistem tempat mereka diperkenalkan.
Di masa lalu, orang sengaja melepaskan kodok ini di negara-negara yang menderita masalah hama. Misalnya, pada tahun 1935, Australia memperkenalkan kodok pemakan kumbang tebu (Dermolepida albohirtum) yang merusak ladang tebu. Namun sementara katak berhasil memadamkan investasi kumbang, populasi katak dengan cepat tumbuh di luar kendali.
Para peneliti percaya bahwa perdagangan hewan peliharaan di pasar gelap dapat menyebabkan invasi katak tebu Taiwan baru-baru ini. Kodok tebu telah lama menjadi hewan peliharaan yang populer di Taiwan dan juga digunakan dalam pengobatan tradisional.
Namun pada tahun 2016, pemerintah Taiwan melarang impor kodok tebu, yang menyebabkan orang membiakkan dan menjualnya secara ilegal. Teori utama adalah bahwa kodok tebu invasif melarikan diri atau ditinggalkan oleh salah satu pedagang pasar gelap ini.
Para peneliti juga berpikir invasi mungkin telah dimulai beberapa bulan yang lalu dan tidak diketahui sampai sekarang.
Baca Juga: Spesies Baru Katak Berkantung: Orang Tua Jantan Bertugas Mengasuh Anak
"Petani Taiwan umumnya mengabaikan katak dan bahkan melihat katak dengan senang hati ketika mereka menemukannya, karena mereka membantu membersihkan tanah dari hama dan juga merupakan simbol keberuntungan," kata Yang.
"Tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa ini adalah spesies invasif dari negeri asing,” sambungnya.
Para peneliti sekarang berharap bahwa mereka telah menahan invasi, tetapi terlalu dini untuk mengatakan dengan pasti. "Musim semi berikutnya selama musim kawin adalah saat kami (akan) benar-benar tahu pasti apakah kami telah menahannya." tutupnya.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR