Manusia adalah konsumen terbesar di Planet Bumi. Setiap hari kita semua mengkonsumsi sumber daya alam planet ini dalam berbagai bentuk: makanan atau minuman, alat kebersihan, buku dan kertas, kosmetika, bahan bakar dan lain-lain.
Semua produk yang kita konsumsi sehari-hari hampir semuanya mengandung minyak sawit atau turunannya. Ikan yang kita makan ditangkap dari laut. Kita membaca koran atau majalah, menulis di kertas, membersihkan tubuh dengan tisu dan menggunakan peralatan yang terbuat dari kayu. Kita pergi dari satu tempat ke tempat lainnya menggunakan kendaraan dengan bahan bakar. Tapi pernahkah anda mempertanyakan darimana dan bagaimana semua itu diproduksi?
Semua sumber daya yang kita konsumsi berasal dari alam, kita semua tahu itu. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa produk-produk yang kita konsumsi tersebut diproduksi dengan mengorbankan lingkungan. Data World Widelife Fund (WWF) Indonesia menyebutkan, hingga saat ini lebih dari 3.5 juta hektar hutan alami Indonesia hilang untuk ditanam sawit, dan hanya 9% dari produksi minyak sawit Indonesia yang diproduksi secara ramah lingkungan. Sebanyak 60% perairan laut Indonesia dieksploitasi berlebihan sehingga cadangan ikan kita semakin berkurang. Lebih dari 60% ekosistem terumbu karang kita juga rusak akibat penangkapan ikan dengan alat yang destruktif. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan akan kertas dan produk kayu, lebih dari 3,4 miliar kubik meter kayu diambil dari hutan.
Melalui Kampanye #BeliYangBaik, WWF Indonesia mengajak konsumen Indonesia untuk lebih kritis mempertanyakan dan mencari tahu serta memahami tentang latar belakang produk yang biasa digunakan. Apakah produk yang kita gunakan diproduksi dengan dampak minimum terhadap lingkungan, dihasilkan dengan cara-cara yang mempertimbangkan pelestarian habitat, kehidupan sekitar dan sumber daya alam?
Kita bisa turut andil dalam melestarikan lingkungan dan sumber daya alam dengan memilih produk yang memiliki sertifikat ramah lingkungan (ekolabel) ketika berbelanja. Ekolabel adalah Label, tanda atau sertifikasi pada suatu produk yang menyatakan bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan produk tanpa ekolabel.
Ada beberapa jenis ekolabel untuk kategori produk berbeda, antara lain Forest Stewardship Council (FSC) untuk produk berbasis kayu dan kertas, label Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk produk berbasis minyak sawit dan Marine Stewardship Council (MSC) untuk produk hidangan laut yang ramah lingkungan.
Saat ini, di Indonesia memang belum banyak produk yang memiliki sertifikat ecolabel. “Minimnya produk dengan ekolabel di Indonesia dikarenakan hingga saat ini, belum ada permintaan pasar Indonesia terhadap produk dengan ekolabel,” ujar Margareth Meutia, Footprint Campaign Coordinator WWF Indonesia, dalam acara Media Trip #BeliYangBaik “Sustainable Palm Oil” di Riau, Kamis (21/1).
Ia menambahkan, “Kita sebagai konsumen, merupakan orang yang paling berpengaruh di Bumi. Konsumen punya kekuatan untuk meminta kepada produsen agar menghadirkan produk-produk yang memiliki sertifikasi ramah lingkungan."!break!
Mengubah pola konsumsi dan gaya hidup
Dengan populasi penduduk dunia saat ini sekitar 7 miliar dan diperkirakan akan mencapai 9,3 miliar pada tahun 2050, bayangkanlah seberapa besar dampak laju pertumbuhan konsumsi terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati.
“Perilaku konsumsi kita cenderung boros. Saat ini manusia menggunakan sumber daya yang melebihi batas kemampuan Bumi,” ujar Margareth.
Margareth menganalogikan eksploitasi sumber daya alam di Bumi seperti jeruk yang diperas habis-habisan untuk dibuat menjadi jus. Jika kita tidak segera mengubah gaya hidup dan perilaku konsumsi, keselamatan Bumi akan terancam.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR