Ini adalah sebuah cerita pada dua tahun silam ketika hujan deras yang mengguyur Samarinda tiba-tiba saja berhenti. Kami kembali menyusuri seruas marga di sepanjang tepian Mahakam. Melintasi Kampung Jawa, Pasar Pagi, Pelabuhan, hingga berhenti di tepian Muara Karang Mumus. Sebuah perhelatan akbar tengah digelar di pelataran toapekong tertua di kota ini.
Roman muka Fong Cien, yang akrab disapa Fenny Angkojoyo, tampak berseri dengan blus warna merahnya. Perempuan berusia 50-an tahun itu berdiri sembari menyiduk wadah termos es besar yang berisi kuah santan. Di sampingnya sebuah meja berlapis seng telah memajang belasan mangkuk berisi potongan-potongan lontong, telur bulat, dan ikan haruan dalam kuah bumbu Bali. Inilah lontong Cap Go Meh ala Samarinda!
Tak hanya warga Cina yang menyemarakkan santap lontong peranakan itu, tetapi juga warga lainnya yang turut meramaikan gempita perhelatan kota ini.
“Umat tambah hari, tambah banyak,” ujar Fenny. “Kita bisa kumpul-kumpul kasih lontong cap go meh.” Acara santap bersama kuliner khas peranakan itu digelar setiap tanggal 15 bulan pertama penanggalan imlek. Warga merayakan bersama di pelataran belakang Klenteng Thien Ie Kong, tepian Mahakam. Klenteng ini merupakan toapekong tertua di Samarinda.
Bagi Fenny, siapa saja boleh menyantap hidangan—termasuk kami yang kebetulan melancongi kota ini. Tak hanya warga Cina yang menyemarakkan santap lontong peranakan itu, tetapi juga warga lainnya yang turut meramaikan gempita perhelatan kota ini. Juru masak dan peraciknya pun tidak harus orang Cina.
Saat saya bertanya kepada Fenny tentang kawasan pecinan di kota itu, dia justru balik bertanya.
“Pecinan?” ujarnya heran. “Apa itu pecinan?”
“Semacam kampung orang-orang Cina. Biasanya dekat pasar yang lama.”
“Ow, kalau itu tidak ada di sini. Semuanya membaur. Tidak ada pecinan di sini.”
Suara tambur dan cengceng riuh bergema. Warga berkerumun di pelataran belakang klenteng. Kepala liong, sosok naga dalam mitologi Cina, mulai bergelora dan belingsatan. Raganya seakan bergairah mengikuti tambur. Naga itu diusung dengan tongkat oleh sembilan pemuda yang berbusana merah. Mereka membawa sang naga dengan berlari, lalu berputar dan berputar, membentuk lingkaran di hamparan lantai yang basah.
Mereka bergegas ke kampung asalnya, menyapa dan memberi hormat pemilik toko, menerima angpau, lalu mengambil selada yang tergantung di atas pintu.
Suasana sangat ramai. Pada perayaan Cap Go Meh pagi itu, Walikota Samarinda dan beberapa pejabat turut hadir dan menyaksikan atraksi budaya Cina. Dua badut Cina yang ikut menari dengan jenaka dengan mengibaskan kipas, meski mereka tampaknya tak kepanasan.
Setelah acara pemberkatan dan pelepasan dari Klenteng Thien Ie Kong, para penari barongsai dan rombongannya naik ke mobil bak terbuka. Mereka bergegas ke kampung asalnya, menyapa dan memberi hormat pemilik toko, menerima angpau, lalu mengambil selada yang tergantung di atas pintu.
Malam Cap Go Meh di Samarinda memang unik. Klenteng yang masih berdinding papan bercat merah menyala itu tampak bergempita bermandikan cahaya. Untaian lampion merah di pelataran sampingnya kian menambah semarak Cap Go Meh.
Aroma setanggi ladan menyeruak. Pelataran klenteng dipenuhi muda-mudi. Mereka umumnya datang dengan bergerombol. Suasana klenteng menjadi berbeda pada malam ini. Semuanya berdandan seperti menghadiri sebuah pesta besar. Bahkan, ada juga sekawanan perempuan muda yang berbusana gaun malam. Bertegur sapa dan saling mengobrol. Malam ini adalah malam yang renyah.
“Malam ini adalah malam mencari jodoh—bagi mereka yang jomblo,” ujar Zhen Zhen. “Setiap malam Cap Go Meh, anak-anak muda berjalan mengelilingi kelenteng sebanyak tujuh kali."
Saya berdiri di depan pintu masuk klenteng untuk beberapa saat sembari menyaksikan warga yang berdoa di teras. Saya heran, banyak sekali muda-mudi yang melintas berkali-kali di pelataran depan. Berkali-kali pula saya menjumpai kawanan muda-mudi yang sama. Tampaknya mereka berjalan mengelilingi klenteng.
“Malam ini adalah malam mencari jodoh—bagi mereka yang jomblo,” ujar seorang gadis bernama Zhen Zhen, yang akrab disapa Anggreny. Usianya 27 tahun. Dia adalah anak perempuan Fenny. Dua perempuan itu aktif dalam kegiatan klenteng. “Setiap malam Cap Go Meh,” ungkap Anggreny, “anak-anak muda berjalan mengelilingi kelenteng sebanyak tujuh kali. Kebetulan tahun ini perayaannya bersamaan dengan Valentine.”
Awalnya saya kesulitan mencari Anggreny karena atmosfer malam yang hiruk pikuk, belum lagi dia bertugas membantu mamanya di klenteng. Saya meneleponnya dan kami bertemu di pelataran belakang klenteng. Jika malam itu banyak anak muda yang berkencan di sudut pelataran klenteng, saya dan gadis itu bersepakat bertemu di depan patung Sun Go Kong—Si Kera Sakti.
Jika malam itu banyak anak muda yang berkencan di sudut pelataran klenteng, saya dan gadis itu bersepakat bertemu di depan patung Sun Go Kong—Si Kera Sakti.
“Biasanya mereka yang berkeliling mencari jodoh itu anak-anak SMP dan SMA. Mereka berkeliling tujuh kali searah jarum jam,” ungkapnya. “Kalau dalam putaran keliling itu dia selalu berpapasan dan bertatapan dengan orang yang sama, berarti mungkin itu jodohnya.”
Menurut keyakinan mitologi Cina, angka tujuh berkaitan dengan elemen perempuan. Konon, bayi perempuan mulai tumbuh gigi pada usia tujuh bulan, gigi tanggal ketika tujuh tahun. Pada usia 14 tahun—kelipatan tujuh—mendapat menstruasi, kemudian pada usia 49 mendapat menopause.
Tampaknya mitos itu ada benarnya. Saya bertemu dengan Chiaw Lie, perempuan berusia 54 tahun. Seperti Fenny, dia juga turut membantu perayaan Cap Go Meh di klenteng ini. Lie termasuk salah satu orang yang pernah mendapat berkah dari ajang Malam Mencari Jodoh di klenteng ini, beberapa dekade silam. Sudah takdirnya, Lie bertemu seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya—hingga hari ini.
Chiaw Lie termasuk salah satu orang yang pernah mendapat berkah dari ajang Malam Mencari Jodoh di klenteng ini. Lie bertemu seorang lelaki yang kelak menjadi suaminya—hingga hari ini.
Kemudian saya bertanya suatu hal kepada Anggreny tentang dirinya, mengapa dia tak turut serta dalam ritual tersebut. Dia tersenyum lebar dengan pipi merah merona. Kemudian dia berkata, yang mungkin sekaligus menyiratkan curahan hatinya, “Yang dewasa ngga ikut berkeliling lagi karena sudah bosan.”
Kawanan pemuda berbaju merah kembali berlari sembari membawa tongkat yang menopang Sang Naga yang mengejar matahari. Dari pintu gerbang, mereka menuju pelataran belakang klenteng. Para pengunjung yang awalnya di tengah pelataran, segera beranjak menepi. Ketika akrobat Sang Naga sedang bergelora, angin berembus kencang membawa hujan dari arah Sungai Mahakam.
Hujan deras malam itu manandai berakhirnya perayaan Malam Mencari Jodoh—namun, hujan tidak berarti mengakhiri harapan mereka yang belum mendapatkannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR