Bahkan hingga pertengahan abad ke-20, sains masih belum merekam fakta sejati mariyuana. Zat yang terkandung di dalamnya dan cara kerjanya masih menyisakan tanda tanya besar. Lantaran status ilegal dan stigma buruk yang disandangnya, hanya segelintir ilmuwan serius yang rela menodai reputasi mereka dengan meneliti tanaman ini.
Kemudian suatu hari pada 1963, Raphael Mechoulam, ahli kimia organik muda yang bekerja di Weizmann Institute of Science di luar Tel Aviv, memutuskan untuk menganalisis komposisi kimia tanaman tersebut. Baginya tidak logis bila kalangan ilmuwan belum mengenali bahan psikoaktif utama yang terkandung dalam ganja, padahal sejak 1805 morfin berhasil diidentifikasi dan diekstrak dari opium, sementara kokain ditemukan dalam daun koka pada 1855.
“Itu cuma tanaman,” ungkap Mechoulam, yang kini berusia 84. “Paduan senyawa yang tidak dikenal dan berantakan.”
Maka Mechoulam menelepon polisi nasional Israel dan dikirimi lima kilo ganja Lebanon sitaan. Dia dan tim penelitinya memisahkan—dan dalam beberapa kasus juga menyintesis—rangkaian susunan zat kimia, yang disuntikkan secara terpisah ke tubuh monyet rhesus. Hanya satu efek yang dapat diamati. “Biasanya monyet rhesus hewan yang cukup agresif,” katanya. Namun, ketika disuntik dengan senyawa ini, monyet itu jadi amat kalem. “Seperti diberi obat penenang, “ kenangnya sambil tertawa kecil.
Pengujian lebih lanjut menghasilkan temuan yang kini diketahui dunia: senyawa yang menjadi bahan aktif utama tanaman ini adalah zat kimia yang mampu mengubah otak—dan membuat Anda tinggi (gitingdalam slang). Mechoulam, bersama seorang rekan, menemukan tetrahidrokanabinol (THC). Dia dan timnya juga menjelaskan struktur kimia kanabidiol (CBD), zat utama lain dalam ganja yang menyimpan potensi medis berlimpah namun tak memicu efek psikoaktif pada manusia.
Karena terobosan ini dan banyak terobosan lainnya, Mechoulam dikenal luas sebagai bapak ilmu ganja. Dia juga anggota terhormat Israel Academy of Sciences and Humanities dan profesor emeritus di Hadassah Medical School, Hebrew University, di mana ia masih aktif menggelar penelitian. Kakek ramah yang menulis lebih dari 400 karya ilmiah dan memegang sekitar 25 hak paten ini mencurahkan hidupnya untuk mendalami ganja, yang ia juluki “harta karun medis yang menanti untuk ditemukan”. Karyanya menjadi pemicu kelompok spesialisasi penelitian mariyuana di seluruh dunia.
“Ini semua gara-gara Anda,” ujar saya kepadanya saat kami bertemu di kantornya—semua dinding di ruangan itu dijajari rak buku dan sesak oleh plakat penghargaan—untuk membahas ledakan minat terhadap ilmu ganja.
“Mea culpa—ya, itu memang salah saya!” jawabnya sambil tersenyum.
Israel memiliki salah satu program ganja medis termaju di dunia. Mechoulam aktif berperan membangunnya, dan ia bangga dengan hasilnya. Lebih dari 20.000 pasien diizinkan menggunakan ganja sebagai obat glaukoma, penyakit Crohn, peradangan, hilangnya nafsu makan, sindrom Tourette, dan asma.
Namun, ia tidak setuju bila ganja dilegalkan sebagai sarana hiburan. Menurutnya, pemilik ganja tak perlu sampai dipenjara, tetapi perlu diingat bahwa ganja “bukanlah zat kimia yang tak berbahaya”—terutama bagi kaum muda. Ia mengutip kajian yang menunjukkan bahwa konsumsi jangka panjang ganja berkadar THC tinggi mampu mengubah pertumbuhan otak yang masih berkembang. Ia mencatat bahwa pada sejumlah orang, ganja memancing serangan cemas yang akut dan melemahkan. Ia juga menyitir kajian yang menyatakan bahwa ganja dapat memicu skizofrenia dalam diri orang yang memiliki kecenderungan genetis tersebut.
Mechoulam lebih suka bila kekonyolan yang tak bertanggung jawab dari budaya ganja rekreasi akan digantikan oleh rengkuhan yang sungguh-sungguh dan antusias kepada ganja—hanya sebagai zat medis yang diregulasi ketat dan diteliti tanpa kenal lelah. “Saat ini,” ia mengeluh, “para pengguna ganja ibarat membeli kucing dalam karung. Agar terpakai di dunia medis, penggunaan ganja harus bisa ditakar menjadi dosis yang tepat. Jika tidak, itu bukanlah ilmu.”
Pada 1992, pencarian Mechoulam akan takaran dan dosis yang tepat menggiringnya dari tanaman itu sendiri ke relung otak manusia. Tahun itu ia dan beberapa rekan menghasilkan temuan yang gemilang. Mereka memisahkan zat kimia dari tubuh manusia, yang mengikat reseptor yang sama di otak, seperti THC. Mechoulam menamainya anandamide—bahasa Sanskerta untuk “sukacita tertinggi”.
Semenjak itu, beberapa endokanabinoid dan reseptornya berhasil ditemukan. Para ilmuwan mulai menyadari bahwa endokanabinoid berinteraksi dengan jaringan neurologis yang spesifik—mirip dengan yang dilakukan endorfin, serotonin, dan dopamin.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR