Di seberang kantor polisi di wilayah industri Denver, gedung raksasa seluas 4.000 meter persegi itu menghuni hamparan gudang perkotaan yang dialihfungsikan menjadi rumah pertanian mariyuana dan dijuluki Green Mile. Pintu mendengung terbuka, dan saya disambut oleh pimpinan ahli hortikultura Mindful, salah satu perusahaan ganja terbesar di dunia. Phillip Hague berusia 38, dengan mata biru tajam. Saat itu ia mengenakan seragam dan sepatu hiking, dengan senyum tawar menunjukkan orang yang telah menemukan panggilan hidupnya.
Pakar bercocok tanam ini terampil berkebun sejak usia delapan dan mengidolakan Luther Burbank, ilmuwan pertanian besar. Selama bertahun-tahun Hague membudidayakan kastuba, keladi, krisan, dan tanaman lain di pembibitan keluarganya di Texas. Namun kini perhatiannya tercurah pada kuncup yang jauh lebih menguntungkan.
Saya digiring melewati kantor depan Mindful yang sibuk dan memasuki koridor bagian dalam. Di dalam lemari pendingin, Mindful menyimpan benih ganja dari sepenjuru Asia, India, Afrika Utara, dan Karibia. Sebagai seorang pelancong dunia, Hague terpincut sejarah keanekaragaman hayati mariyuana. Bank benihnya menampung galur ganja langka, liar, dan kuno, serta menjadi bagian penting kekayaan intelektual Mindful. “Harus diakui bahwa manusia berevolusi bersama ganja, bahkan sejak masa paling awal,” katanya. “Usia ganja bahkan lebih tua dari tulisan. Tanaman ini telah dan akan selalu menjadi bagian dari hidup kita. Selepas zaman es terakhir, ganja menyebar dari Asia Tengah, ikut bermigrasi ke belahan bumi lainnya bersama manusia.”
Ketika Departemen Kehakiman AS mengumumkan pada 2009 bahwa mereka tidak akan berfokus mengusut orang-orang yang memenuhi syarat hukum ganja medis negara, ia menatap istrinya dan berkata, “Ayo kita pindah ke Denver.” Kini ia menjalankan salah satu “perkebunan” terbesar dan tersohor di dunia; di sini, lebih dari 20.000 tanaman ganja tumbuh dengan suburnya.
Kami melaju melewati ruangan tempat daun-daun ganja disimpan dalam wadah kedap udara, lalu menyusuri lorong yang dipenuhi oleh bisingnya pompa, kipas angin, filter, generator, dan mesin pemangkas. Sebuah forklif menggelinding mendekat. Kamera pengintai merekam semuanya, termasuk pekerja muda berseragam dokter yang bergegas bekerja.Mereka tampak antusias menyambut tekanan dan harapan dalam bisnis yang tidak lazim namun berkembang melampaui harapan ini. Mindful punya rencana besar untuk berekspansi dan membangun fasilitas serupa di negara-negara lain. “Ganja sedang tenar!” seru Hague dengan tawa yang menyiratkan rasa takjub dan letih. “Saya terheran-heran menyaksikan semua yang terjadi di sini setiap hari.”
Didorongnya sebuah pintu hingga terbuka, dan saya disilaukan sejenak oleh cahaya benderang dari halo lampu pijar plasma. Kami melangkah memasuki ruangan besar nan hangat yang beraroma seperti seratus konser Bob Marley. Begitu mata saya terbiasa, saya bisa melihat tanaman itu dalam gelombang kemuliannya—hampir seribu tanaman ganja betina menjulang setinggi dua meter, akarnya bermandi larutan nutrisi tinggi, daunnya yang runcing mengangguk-angguk diembus semilir kipas angin yang berputar ke arah sana dan sini. Ganja bermutu tinggi itu bernilai lebih dari setengah juta dolar.
Saya membungkuk untuk mengendus salah satu kuncup bunga ungu-cokelat yang bergerombol rapat dan berurat putih. Trikoma mungil ini menghasilkan cukup banyak damar yang kaya kanabinoid. Galur ini bernama Highway Man, diambil dari lagu Willie Nelson. Varietas yang dihibridkan oleh Hague ini sarat THC dan sempat menyabet penghargaan internasional. Bagian terbaik akan dipotong dengan tangan, dikeringkan, diletakkan dalam wadah kedap udara, dan dikemas untuk dijual di salah satu apotek Mindful.
Ternyata ia pun hendak menunjukkan sesuatu yang lain. Hague menuntun saya ke ruang pembiakan tanaman yang lembap, di mana tanaman muda meluaskan akar-akarnya di dalam ruangan nyaris gelap. Bayi-bayi ini ditandai label kuning dan ditumbuhkan hanya untuk tujuan medis. Mereka semua klon yang disetek dari pohon induk. Hague membanggakan varietas ini, yang hampir tidak mengandung THC tetapi kaya CBD dan senyawa lain yang menjanjikan—meski belum terbukti secara ilmiah—untuk mengobati penyakit dan gangguan seperti sklerosis ganda, psoriasis, gangguan stres pascatrauma, demensia, skizofrenia, osteoporosis, dan sklerosis lateral amiotrofik (penyakit Lou Gehrig).
“Galur rendah THC inilah yang membuat saya susah tidur di malam hari, sibuk memimpikan kemungkinan manfaat medisnya,” ujar Hague. Ia menegaskan bahwa ganja mengandung banyak zat kanabinoid, flavonoid, dan terpena—yang belum diteliti secara mendalam.
“Mungkin ini terdengar sentimental,” ujarnya sambil membelai salah satu setek seperti seorang ayah yang bangga, “namun saya percaya ganja memiliki kesadaran. Tanaman ini lelah dianggap jahat. Kini ia siap dihargai atas kemampuannya.“
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR