Nationalgeographic.co.id—Sahabat, kita telah mengetahui bahwa pendengaran adalah indera terakhir yang bekerja. Bisa dibayangkan ketika kematian Anda hanya bisa mendengar sanak sekitar menangis mengetahui kepergian Anda, tapi tak dapat merespon mereka lewat gerak atau ucapan karena berbagai organ sudah tidak berfungsi.
Meski demikian, masih ada bagian dari tubuh kita termasuk sel di otak yang masih aktif. Penelitian mengungkap bahwa ada sel yang justru aktivitasnya meningkat dengan proporsi besar, setelah seseorang mengalami kematian.
Penelitian itu diterbitkan di Scientific Reports pada 23 Maret 2021 yang dikerjakan oleh para peneliti dari University of Illinois Chicago (UIC). Temuan itu didapati setelah mereka menganalisis perilaku gen dalam jaringan otak segar yang dikumpulkan selama operasi otak rutin.
Gen itu ada pada sel inflamasi yang disebut juga sebagai glial. Sel ini berfungsi untuk memelihara, menjaga, mendukung dan sumber nutrisi self saraf kita, bahkan menjadi penyusun 40 persen volume otak dan medulla spinalis. Ketika mati, dalam analisis para peneliti, sel ini tumbuh dan memunculkan pelengkap seperti lengan panjang selama berjam-jam setelah kematian.
"Kalau sel glial membesar setelah kematian itu tidak mengejutkan, mengingat mereka mengalami peradangan dan tugas mereka adalah membersihkan hal-hal setelah cederak otak seperti kekurangan oksigen atau stroke," ujar Jeffrey Loeb, salah satu penulis studi dan seorang neurolog di UIC College of Medicine di Science Daily. "Sebagian besar penelitian berasumsi bahwa segala sesuatu di otak berhenti ketika jantung berhenti berdetak, tetapi tidak demikian."
Loeb dan tim menemukan bahwa sekitar 80 persen dari gen yang dianalisis tetap relatif stabil dalam 24 jam, dengan ekspresi gen yang tidak banyak berubah. Gen tersebut adalah yang menyediakan fungsi seluler dan umum digunakan dalam studi terkait kualitas jaringan.
Kemudian ada gen lain adalah yang biasa hadir dalam neuron. Perannya sangat kompleks dalam aktivitas otak manusia seperti memori, berpikir, dan kejang. Tetapi gen itu terdegradasi dalam beberapa jam setelah kematian.
Terakhir ada kelompok ketiga yang disebut para peneliti sebagai 'gen zombi'. Aktivitasnya meningkat pada saat bersamaan dengan gen saraf menurun, dengan pola perubahan post-mortem memuncak sekitar 12 jam.
Penelitian ini sangat didasari jaringan otak manusia postmortem. Sebenarnya, tujuan utamanyalah yang menjadi signifikan, kata Loeb, yakni mencari perawatan dan penyembuhan yang potensial pada gangguan seperti autisme, skizofrenia, dan penyakit Alzheimer. Itu sebabnya gen yang ditemukan yang merupakan bagian penting untuk mempelajari gangguan seperti ini.
Awalnya, Loeb dan tim tidak memperhitungkan ekspresi gen post-mortem atau aktivitas sel. Tetapi mereka mendapati adanya pola global ekspresi gen dalam jaringan otak manusia yang baru, tidak cocok dengan ekspresi gen otak postmortem pada yang berbagai pengidap gangguan neurologis.
Maka, para peneliti menjalankan eksperimen lewat simulasi kematian 24 jam pertama untuk melihat ekspresi semua gen manusia, "dari kumpulan besar jaringan otak yang baru dikumpulkan, lalu dibiarkan pada suhu ruang untuk mereplikasi postmortem interval," jelasnya.
Data simulasi itu didapatkan Loeb dari bank jaringan otak manusia dari pasien penyandang gangguan neurologis. Kumpulan data ini tentunya telah mendapatkan persetujuan untuk dikumpulkan dan disimpan baik setelah meninggal, atau selama operasi perawatan standar.
Baca Juga: Ternyata Penyakit Alzheimer Mempunyai Tiga Kelompok, Apa Sajakah Itu?
Misal, pada suatu operasi pengobatan epilepsi, jaringan otak akan diangkat untuk menghilangkan kejang-kejang. Hanya sebagian jaringan ini yang digunakan dalam analisis Loeb dan tim, karena tidak semuanya diperlukan sehingga perlu dipilih.
"Temuan kami akan diperlukan untuk menginterpretasikan penelitian pada jaringan otak manusia. Kami hanya belum menghitung perubahan ini sampai sekarang," lanjutnya.
"Kabar baik dari temuan kami adalah bahwa kita sekrang tahu gen dan jenis sel mana yang stabil, mana yang terdegradasi, dan mana yang meningkat seiring waktu sehingga hasil dari studi otak postmortem dapat dipahami dengan lebih baik."
Dengan demikian, saran Loeb, para peneliti dalam mengamati jaringan otak perlu memperhitungkan perubahahan genetik dan seluler ini, dan mengurangi interval postmortem sebanyak mungkin.
Baca Juga: Daftar Periksa Persalinan, Upaya Mencegah Kematian Bayi di Indonesia
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR