"Walaupun saya sendiri secara pribadi seorang optimis, namun memang tahun ini kami cukup terpukul karena menemukan banyak pesut yang mati di Sungai Mahakam, yaitu 8 ekor. Tapi tetap ada peluang untuk konservasi pesut mahakam," tutur Danielle dalam acara Bicang Redaksi-41 National Beographic Indonesia bertajuk "Nyawa Terakhir Pesut Mahakam, Status Kritis Semakin Mengancam: Perjuangan konservasi di detik-detik bencana kepunahan" pada 24 Desember 2021.
Danielle menjelaskan bahwa berdasarkan data International Union for Conservation of Nature (IUCN), pesut mahakam kini berstatus critically endangered atau terancam kritis. Adapun berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), spesies lumba-lumba air tawar ini masuk dalam Appendix I yang artinya dijaga paling ketat karena terancam punah dan tidak boleh diperjualbelikan untuk komersial.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, spesies bernama ilmiah Orcaella brevirostris ini merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia. Hal itu juga diperkuat oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018. Mamalia air ini unik dan begitu berharga di wilayah setempat sehingga juga dijadikan maskor provinsi Kalimantan Timur.
Sayangnya, seringkali manusia memang tak pandai menjaga hal-hal yang bahkan menurutnya berharga. Danielle mencatat bahwa dalam rentang tahun antara 1995 hingga 2020, rata-rata ada 4 ekor pesut mahakam yang mati per tahunnya. Angka kematian tertinggi terjadi pada 2018, yakni mencapai 10 ekor.
Penyebab kematian pesut mahakam ini bermacam-macam, tapi sebagian besar adalah terkait aktivitas manusia. Berdasarkan catatannya sejak 1995 hingga 2021, "70 persen mati akibat rengge. Itu jaring ikan," ungkap Danielle. Jenis alat tangkap ikan itu masih banyak digunakan oleh para nelayan di Mahakam.
Sebanyak 23% kematian pesut mahakam tidak diketahui penyebabnya. Namun 9% lainnya mati akibat ditabrak kapal, 7% mati akibat keracunan limbah, 5% mati akibat dibunuh, 2% mati akibat setrum ikan, dan 1% mati akibat rawai, sejenis alat tangkap ikan lainnya yang berbentuk tali pancing panjang. Adapun penyebab-penyebab kematian lainnya adalah proses kelahiran, diserang pemangsa, dan terjebak di daerah dangkal.
Baca Juga: Satwa Langka Lumba-lumba Air Tawar Terlihat di Kalimantan Barat
Danielle juga memaparkan ada banyak macam ancaman yang kini dihadapi pesut mahakam. Konservasi hutan untuk perkebunan menyebabkan sedimentasi di badan air sehingga banyak area sungai yang menjadi lebih dangkal sehingga pesut mahakam rawan terjebak di sana hingga mati. Pendangkalan ini juga membuat berkurangnya area pemijahan pesut mahakam sehingga proses reproduksi pesut untuk menghasilkan inividu-individu baru jadi terhalang dan terganggu.
Ancaman lainnya adalah polusi kimia dan plastik. Lalu ada juga ancamaan kapal-kapal besar yang lewat di Sungai Mahakam maupun anak Sungai Mahakam. Polusi suara kapal-kapal besar bisa merusak sonar pesut mahakam. Selain itu, kapal-kapal juga rentan menabrak populasi satwa endemik yang jumlahnya makin kritis ini.
Alat tangkap ikan berupa rengge dan jenis-jenis alat tangkap ikan yang tidak lestari lainnya merupakan ancaman utama satwa ini. Oleh karena itu, perlu dihentikan penggunaan alat tangkap ikan ilegal dan praktik penangkapan ikan yang berlebihan.
Tingginya ancaman dan angka kematian pesut mahakam tiap tahunnya tidak menyurutkan harapan Danielle atas upaya konservasi satwa ini. Danielle mencatat, sejak 2017 hingga 2021, ada 5 hingga 7 bayi pesut mahakam yang lahir per tahunnya.
Kelahiran bayi-bayi pesut mahakam ini tetap menjadi harapan, meski kini jumlah pesut mahakam yang tersisa diperkirakan tinggal 81 ekor. Penyebaran populasi pesut mahakam pun semakin terdesak akibat perubahan lingkungan. Sebanyak 80%-98% dari seluruh populasi pesut mahakam kini hanya berada di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tiap kondisi air.
Pada 2020 Gubernur Kalimantan Timur telah mengeluarkan Surat Keputusan yang menetapkan area konservasi habitat pesut mahakam di Kutai Kartanegara. Menurut Danielle, penetapan kawasan konservasi ini baru bisa dibilang berhasil apabila empat indikatornya tercapai.
Baca Juga: Pusparagam Mahakam Tengah, Denyut Pelestarian Lanskap Gambut
Pertama, berkurangnya polusi kimia (limbah dan sampah anorganik) dan kebisingan bawah air melalui peningkatan kesadaran, regulasi, dan penegakan hukum. Kedua, tersedianya regulasi terkait pemasangan rengge, pengawasan kegiatan ilegal (meracun, menyetrum), serta pengaturan tipe dan kecepatan kapal di muara dan anak sungai.
Ketiga, tersedianya peluang untuk pendapatan alternatif dengan budidaya ikan yang lestari (tambak/keramba) dan ekowisata yang berbasis kemasyarakatan. Keempat, perlindungan daerah pemijahan ikan serta penegakan hukum dari kegiatan ilegal yang merusaknya.
Kawasan konservasi ini dapat menguntungkan warga sekitar karena secara langsung bisa meningkatkan taraf hidup mereka melalui program peralihan perikanan tangkap ke teknik keramba lestari atau berkelanjutan. Kawasan konservasi ini juga bisa menjaga warisan budaya dan alam warga setempat serta sumber daya perikanan melalui teknik penangkapan ikan berkelanjutan, perlindungan daerah perkembangbiakan ikan, dan perbaikan kualitas air dengan mengurangi sedimentasi sehingga akan menambah sumber daya perikanan. Selain itu kehadiran pesut mahakam juga bisa menjadi hiburan dan daya tarik ekowisata.
Sebagai contoh, Desa Wisata Pela yang kini sudah menerapkan zero-plastic waste ke sungai. Warga desa tersebut juga mulai merayakan budaya tradisional cara penangkapan ikan dalamfestival tahunan dan lomba dayung serta mempromosikan pesut mahakam sebagai daya tarik wisata daerah mereka.
Pada akhirnya, selalu ada peluang untuk konservasi. Selalu ada peluang untuk kelestarian bumi.
Baca Juga: Kematian Ke-7 Pesut Mahakam 2021, Kali Ini Ada Garis Hitam di Tubuhnya
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR