Cengkeh pernah menjadi salah satu rempah papan atas. Riwayatnya pernah menjadi simbol kebangsawanan dan gengsi. Pada masa Dinasti Han, cengkeh sudah digunakan sebegai penyegar napas saat hendak menghadap kaisar. Bahkan, pada masa itu telah terbit aturan bahwa siapapun yang akan menghadap raja diwajibkan mengunyah cengkeh terlebih dahulu.
Ada juga anekdot lain tentang rempah di kebudayaan lain. Jamuan makan yang disajikan dengan taburan lada menunjukkan status sosial orang yang menyantapnya. Pada masa silam, rempah telah menjadi simbol status sosial karena harganya yang mahal.
“Selain menambahkan cita rasa ke potongan daging kering dan asin atau melarutkan rasa asin ikan yang itu-itu saja, rempah juga digunakan untuk berbagai tujuan seperti memanggil Tuhan dan mengusir setan, menyembuhkan penyakit atau mengusir wabah…,”
Rempah menjadi saksi perkembangan dan pasang surut peradaban bangsa Indonesia. Keberadaan rempah sangat erat kaitannya dengan perjalanan kekuasaan, politik, dan sosial budaya bangsa Indonesia.
Bukan hanya itu, rempah juga menjadi bagian penting dalam pembentukan peradaban dunia. Pencarian kepulauan rempah juga membangkitkan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Berkat rempah pula banyak muncul nama penjelajah kampiun dan para pedagang masyhur.
Mungkin, sebagian besar dari kita yang hidup era ini, heran mengapa di masa lalu ada banyak orang yang rela mempertaruhkan uang, tenaga bahkan nyawa demi rempah-rempah.
Namun ternyata, rempah-rempah bukanlah sekedar penyedap rasa. Masyarakat Barat memandang rempah memiliki daya tarik yang melampaui aspek kegunaannya secara kuliner.
“Selain menambahkan cita rasa ke potongan daging kering dan asin atau melarutkan rasa asin ikan yang itu-itu saja, rempah juga digunakan untuk berbagai tujuan seperti memanggil Tuhan dan mengusir setan, menyembuhkan penyakit atau mengusir wabah…,” tulis Jack Turner dalam bukunya yang berjudul Sejarah Rempah dari Erotisme sampai Imperialisme.
Simak juga Melodrama Pionir Penjelajah Samudra di Maluku
Rempah memiliki jenis yang beragam. Dalam bukunya, Turner mengutip katalog dagang dari abad ke-14 yang ditulis oleh saudagar dari Florence, Francesco Balducci Pegolotti yang mencantumkan tak kurang dari 188 jenis rempah.
Di antara semuanya, cengkeh (Syzygium aromaticum) dan pala (Myristica fragrans) termasuk dengan bunganya memiliki daya tarik paling kuat dan bernilai lebih dari emas. Sebelum masa modern, cengkeh hanya tumbuh di Kepulauan Maluku, Indonesia. Setidaknya ada lima pulau penghasil cengkeh, seperti Moti, Makian, Bacan, Ternate, dan Tidore. Selain itu, ada lima pulau lagi penghasil pala, seperti Banda, Naira, Run, Ai, dan Rozengain.
Khasiat, kelangkaan dan nilai rempah yang begitu tinggi itulah yang menimbulkan hasrat di antara penjelajah samudra dari benua Eropa hingga rela menjelajah hampir setengah dunia untuk menemukan tempat tumbuh rempah.
Mereka berlomba-lomba mendapatkan rempah. Ketika akhirnya bangsa Eropa menginjakkan kaki di Maluku, mereka pun memulai riwayat kolonialisme di Nusantara yang berlangsung hingga berabad-abad lamanya.
Simak juga Kartografi Dunia Berutang Kepada Rempah Maluku
Untuk menyegarkan kembali ingatan kita tentang kemasyhuran rempah Indonesia dan peran pentingnya dalam tatanan peradaban dunia, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar Pameran Jalur Rempah di Bintaro Exchange Mall. Acara yang bertajuk “Rempah Mengubah Dunia” ini akan berlangsung selama dua pekan, dari 5 - 16 Oktober 2016.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR