Sebuah bingkisan istimewa tiba di meja Redaksi National Geographic Indonesia. Hawien Wilopo mendedikasikan karya batik tulisnya yang berlanggam khas Lasem untuk kami.
Kain batik itu sungguh istimewa lantaran bercorak beragam puspa dengan kotak kuning simbol National Geographic, yang diapit dua burung Phoenix, burung paling terhormat di antara pelbagai jenis burung. Phoenix, orang-orang Cina menyebutnya fenghuang, kerap digunakan sebagai simbol keagungan.
“Saya merasa bangga dan berterima aksih atas perhatian NGI terhadap Lasem,” ungkap Hawien. “Meski saya bukan orang Lasem, saya memiliki usaha batik tulis Lasem."
Hawien memang bukan orang asal Lasem, melainkan Rembang—sekitar sepuluh kilometer dari Lasem. Usaha batiknya, yang bertajuk “Gunung Kendil”, menyajikan karya batik tulis Lasem dengan warna alam dan sintetis, hingga kegiatan kursus membatik. Galeri batiknya berada di Jalan Pemuda Gg. Anggrek 1 No.15, Leteh, Rembang.
“Saya merasa bangga dan berterima aksih atas perhatian NGI terhadap Lasem,” ungkap Hawien. “Meski saya bukan orang Lasem, saya memiliki usaha batik tulis Lasem."
Julukan “Lasem Kota Pusaka” tampaknya lekat dengan banyaknya kisah warisan sejarah masa lalu yang membingkai Lasem. Kawasan ini memiliki keanekaragaman budaya—Hindu, Buddha, Islam, Jawa. Batik Lasem menjadi salah satu tengaranya tatkala budaya Cina berbaur dengan tradisi Jawa.
Agni Malagina dan fotografer Feri Latief mengungkap cerita mereka bertajuk “Terbit Rindu pada Kota Candu” dan “Corong Candu di Tepian Jawa”. Masing-masing terbit di National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler edisi Februari 2016. Pada abad ke-19, Lasem merupakan kota yang bergelimang kemewahan karena perdagangan besar candunya, bersama kota lain seperti Rembang.
Berapa lama Hawien mendedikasikan upayanya untuk batik yang dibingkiskan kepada kami?
“Sekitar dua minggu,” ungkapnya. “Jadi kenapa batik tulis itu lama? Karena masing-masing tahap harus menunggu prosesnya.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR