Namun, banyak sejarawan kontemporer mengatakan genosida yang dilakukan Kekaisaran Jerman tahun 1904-1907, terhadap orang Herero dan Nama di Namibia, yang saat itu dikenal sebagai Afrika Barat Daya Jerman, adalah yang pertama.
Bagi banyak orang Armenia, genosida di tanah air mereka adalah bekas luka yang dibawa turun-temurun, masih membangkitkan emosi yang kuat, diperparah oleh desakan Turki bahwa genosida adalah fiksi.
Pemerintah Turki telah mengakui bahwa kekejaman dilakukan selama periode itu oleh pendahulunya (Ottoman), akan tetapi berpendapat bahwa "sejumlah besar orang Turki juga terbunuh dan bahwa jumlah korban orang Armenia sangat dilebih-lebihkan," ungkapnya.
Suksesi para pemimpin Turki telah mencela genosida sebagai kebohongan Biden yang dimaksudkan untuk merusak identitas dan citra mereka tentang penciptaan Turki modern.
Penolakan Turki atas genosida telah mendarah daging ke dalam masyarakatnya. "Penulis yang berani menggunakan istilah tersebut, akan dituntut di bawah Bagian 301 KUHP Turki, yang melarang 'merendahkan Keturkian'," ungkapnya lagi.
Penyangkalan diajarkan sejak usia dini, dengan buku pelajaran sekolah menyebut bahwa peristiwa genosida sebagai kebohongan.
"Buku sejarah (di Turki) menggambarkan orang-orang Armenia pada periode itu sebagai pengkhianat dan menyatakan tindakan yang dilakukan oleh Turki Ottoman sebagai 'tindakan yang diperlukan' terhadap separatisme Armenia," tulisnya.
Menurut penghitungan oleh Institut Nasional Armenia, sebuah kelompok yang berbasis di Washington, setidaknya 30 negara telah mengakui adanya genosida orang-orang Armenia yang dilakukan oleh Ottoman.
Bagaimanapun, perilaku dan berita genosida terhadap orang-orang Armenia, tak dapat diteruskan ke meja hijau. Alasannya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum terbentuk pada periode itu (1915), menyulitkannya mereka untuk menguak kebenaran akan tragedi keji itu.
Baca Juga: Gobekli Tepe, Kuil Tertua di Dunia yang Jadi Daya Tarik Wisata Turki
Source | : | The New York Times |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR