Kami masih teringat jelang akhir tahun 2017. Kami mengikuti tim eksplorasi Pertamina Hulu Energi dalam kerja lapangan bertajuk “Unravel Petroleum System of Rembang Zone” di wilayah Cepu, Blora, dan sekitarnya. Saat itu, kami menjelajahi wilayah kaya ilmu geosains bareng Arieffian Eko Kurniawan dan kawan-kawan ahli geosains Pertamina Hulu Energi menjelajahi tiga lokasi: Dowan, Paciran dan Kali Panohan.
Matahari semakin panas, hampir jam 11 siang. Kami berpindah menuju lokasi kedua. Formasi Paciran di Desa Tegalnduwo. Jika ditarik garis lurus dari Dowan, lokasi ini hanya berjarak 1 km. Namun jika berkendara maka kami harus menempuh jarak sekitar 3 kilometer.
Bebatuan di Formasi Paciran ini terdiri dari batu gamping terumbu masif, memperlihatkan kondisi karstifikasi. Bisa dilihat dari terbentuknya gua-gua batu gamping. Batuan disini berumur lebih tua dibandingkan dengan yang berada di Dowan. Struktur batuannya terlihat berongga rongga dan memiliki lubang lubang besar, sementara batuan di Dowan terlihat lebih padat. Batuan dengan lubang lubang besar ini jika dijadikan sebuah reservoir, maka akan menjadi sebuah reservoir yang baik.
Di sini tim diminta untuk membuktikan apakah batuan tersebut batuan karbonat atau bukan. Jika dicermati lebih dekat, pada permukaan batu terlihat jejak jejak koral dan alga.
Rusalida Ragunwati, Senior Manager Exploration Asset Management Non Operator Pertamina Hulu Energi, atau kerap dipanggil Lida, menjelaskan, “Selain pengamatan secara visual, pembuktian juga dapat dilakukan dengan menggunakan larutan HCl. Pada batuan karbonat itu terdapat kalsium karbonat atau CaCO3. Nah jika kita teteskan HCl maka akan terjadi reaksi kimia dan menimbulkan buih. Reaksi ini yang menunjukkan kalau itu adalah batuan karbonat”.
Lebih lanjut Lida menjelaskan bahwa dalam menentukan apakah batuan memiliki porositas yang baik atau tidak bisa dilakukan dengan dua cara pengukuran. Yang pertama dengan pengamatan megaskopis. Caranya, dengan menggunakan alat komparator. Alat ini dapat mengukur ukuran butir. Apakah pasir halus, sedang atau kasar.
Yang kedua adalah pengamatan mikroskopis, yakni dengan membuat preparat (irisan tipis) batuan yang akan diukur. Harus diambil dari batuan yang fresh. Lalu dilihat dengan mikroskop apakah batuan tersebut berpori atau tidak.
Usai mengeksplorasi, kami mulai bergerak meninggalkan lokasi. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Awan menghalangi terik matahari, jadi sedikit lebih teduh. Walaupun tadi sudah ngemil pastel, tahu isi dan klepon, tapi perut ini sudah minta diisi lagi. Kami bergegas menuju Waduk Panohan yang menjadi lokasi untuk beristirahat dan makan siang. Di sini nasi gudeg dan es degan gula merah sudah menanti. Wajah-wajah kepanasan langsung berseri.
Tahun telah berganti. Ingatan itu masih lekat di kepala.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR