Beberapa aktivitas yang melanggar kehidupan sungai akan menyebabkan bala, dengan datangnya sakit. Beberapa areal sungai dipercayai tetua adat memiliki kekuatan adi kodrati yang dipatuhi komunitas orang-orang Banjar lama sebagai keseimbangan atas segala hal.
Baca juga: Tapak Bahari di Kaki Sulawesi
Pada kajian ilmiah, para sarjana menemukan fakta-fakta, lelaku itu justru menampakkan kesadaran utuh menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem keseluruhan sungai.
Adanya sebuah ritual kuno tertentu, yang meminta izin pada leluhur agar tak melanggar tabu, dalam pandangan modern adalah manifestasi penjaga harmoni antara alam dan manusia.
Kearifan budaya lokal itu masih tetap kita yakini mereka menyembah Yang Esa, memuliakan manusia sekaligus penghormatan tulus pada alam. Masyarakat Banjar lama, sampai saat ini tetap memperlakukan sungai secara harmoni.
Kita bisa menengok juga ke wilayah pesisir pantai Utara Jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon dengan ritual Nadran. Ritual yang mengungkap rasa bahagia atas rezeki yang dilimpahkan selain permohonan perlindungan pada-Nya, terhadap segala hambatan tatkala mencari nafkah di lautan.
Di Kabupaten Indramayu, ritual Nadran digelar pada bulan Oktober sampai Desember berlokasi di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap, Limbangan dan Karangsong. Sedangkan di Kabupaten Subang, di antaranya adalah di Pantai Blanakan.
Nadran atau biasa disebut Labuh Saji sebuah prosesi memberi sesajen, yang dalam keyakinan Hindu adalah penghormatan pada leluhur. Sementara, dalam budaya Islam dikenal di masyarakat setempat sebagai semacam ikrar atau janji kepada Yang Maha Esa untuk melaksanakan sesuatu jika rezeki berhasil didapat.
Kekuatan simbolisme mereka sering diungkapkan pada objek-objek tertentu yang akan dilabuh ke lautan lepas. Misalnya, objek yang disebut sebagai Ancak. Sebuah anjungan yang meyerupai replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya.
Sebelum dilarung ke laut Ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat tertentu diiringi dengan berbagai tradisi seni pertunjukan lokal seperti: tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, sampai ekspresi yang lebih kontemporer, yakni musik perkusi.
Dengan demikian, ritual tersebut, dalam skala luas adalah sebuah proyek kolektif, sebentuk abstraksi masyarakat Nusantara yang mentransedenkan lautan. Menjaga keseimbangan inderawi raga dan batin, antara kerinduan-kerinduan mengingat dan kembali atas takdir-Nya dan sebuah amanah untuk menjaga lautan.
Bagi bangsa ini, seharusnya entah laut, teluk, sungai dan segala yang berenergi kodrati telah membingkai kuat antara individualisme dan kolektivisme, antara yang magis dan bernalar, kemudian rasa kesoliteran dan solidaritas.
Semuanya semata cermin bagi kita untuk tidak mementingkan dan meninggikan golongan, etnik atau ras. Atau, mereka yang beruntung bermodal dan yang memiliki akses politik untuk merusak dan mengambil alih kuasa atasnya.
Sebab sumpah kesetiaan menjaga lautan, sebenarnya upaya terus-menerus mempererat ikatan kebangsaan untuk tetap berlaku adil dan setara. Kepada alam pun manusia, yang semoga tak tertampias oleh keserakahan dan lelaku zaman.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Sumpah Laut Sumpah KIta
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR