Laut, di mana mata airmu
Supaya aku bisa kembali ke asalmu
Laut di mana mata anginmu, supaya aku bisa mengikuti arusmu?
...
aku ingin sendiri dengan laut
dimana kulontarkan cinta kelam
tenggelam dalam gelombang surut
(Subagio Sastrowardoyo, Soneta Laut, 1989)
RUH laut dalam seni sastra dengan indah digambarkan sebagai saripati peradaban bangsa ini. Perspektif historisitas dan imajinasi bangsa berhasil dipanggungkan oleh Subagio secara mistis.
Kata-kata permintaan “laut di mana mata airmu, supaya aku bisa kembali ke asalmu?” menghunjam kedalam sanubari. Yang kemudian diakhiri dengan ketakziman untuk mewakafkan jiwa “di mana kulontarkan cinta kelam, tenggelam dalam gelombang surut” di akhir puisi.
Datangnya modernitas memang janji kesejahteraan untuk semua. Dibisikkan ke telinga-telinga para pemimpin dan dimantrai di seluruh mimpi-mimpi mereka oleh para imperialis Eropa, dulu dalam pelayaran samudera selama berabad-abad.
Tapi kemudian, nyatanya mengiris-iris nadi bangsa ini, memisahkan secara perlahan-lahan kedekatan hati kolektif kita pada puncak peradaban kemaritiman masa lalu.
Kita dijauhkan dari laut, bahkan inferioritas menubuh, laut hanya simbol dari kegamangan dan hutang pada para bijak dan leluhur yang tak pernah secuilpun mampu terbayar.
Ia semacam kekerdilan, yang laut dijadikan jargon-jargon politik dan atas nama pembangunan, entah pembangunan yang mana dan untuk siapa usai bangsa ini memerdekakan diri dari kolonialisme.
Penekun tradisi laut
Meski sebagai takdir, yang diujarkan dari masa ke masa sebagai manusia bahari, yang katanya laut telah memberi batas pada ribuan pulau-pulau di Nusantara, sampai kini laut masih kita mimpikan.
Berharap ia mampu mengembalikan ikatan komunal lama sekaligus menyambut ingatan bersama dalam tiap hari baru.
Pergi menziarahi laut, bagi para penyuka pengembaraan rasa, diitikadkan keniscayaan peneguhan, membuka introspeksi batin bangsa. Menyiangi yang telah lama berdetak dalam budaya, meleburkan yang dahulu pada gegap-gempita masa kini di era globalisasi.
Baca juga: Makassar dan Tradisi Sedekah Laut
Kita perlu belajar pada penekun tradisi, orang-orang yang masih tetap yakin, seperti nelayan-nelayan di desa Muncar, Banyuwangi. Sebuah wilayah di ujung paling timur Pulau Jawa yang mensakralkan laut dengan ritual Petik Laut-nya.
Masyarakat pesisir, yang menetap di tepi pantai, memiliki cara unik memaknai religi, bahasa, seni, cara mencari nafkah, membentuk organisasi pun memahami kearifan pengetahuan lokal mereka.
Secara turun temurun Ritual Petik Laut adalah proyeksi rasa syukur masyarakat majemuk pesisir Banyuwangi kepada Tuhan Yang Maha Esa di jalan kebudayaan.
Petik Laut memberi metafora dengan makna aktivitas-aktivitas memetik, mengambil, memungut atau memperoleh hasil dari laut, berupa ikan yang mampu menghidupi nelayan.
Ritual sejenis di sebagian wilayah di Pulau Jawa lain, di Jawa Timur bagian utara, di Lamongan kita akan bertemu tradisi Tutup Layang. Sedangkan di Pulau Madura, masyarakatnya mengenal ritual yang disebut Rokatan.
Setiap bulan Muharram atau di malam Syuro dalam penanggalan Jawa, para nelayan menggelar ritual ini. Dengan puncaknya ribuan orang melarung objek-objek yang dianggap sesaji ke lautan lepas.
Mereka menggelar saat bulan penuh atau purnama, sebuah momen yang dipercaya para nelayan berpantang melaut. Jika dilanggar, akan terjadi bala atau musibah.
Atau kita beranjangsana ke wilayah lain. Bertamu ke masyarakat suku Banjar, yang menjadikan sungai sebagai tapal batas antara jiwa dan badan: lautan dan daratan.
Sungai-sungai membentuk karakter khas bagi suku-suku bangsa yang berdiam, hidup dan bergelut dengan energi kodratinya. Sungai menjadi rumah bagi jiwa, yang kelak menuju semuanya ke lautan lepas.
Karakter ini meresap pada lanskap hidup suku Banjar, sebagai realitas segala sumber bagi kehidupan. Ekspresi budaya berupa mitologi dan cara mencari nafkah memberi keterikatan sekaligus kebebasan, keakraban, serta penyatuan diri.
Suku Banjar di Kalimantan Selatan memeluk sungai tidak hanya untuk mempertahankan hidup dan tempat bermukim. Lebih dari itu, sungai dipandang tempat bersemayamnya para pendahulu, tempat tinggal makhluk berkekuatan supranatural.
Beberapa aktivitas yang melanggar kehidupan sungai akan menyebabkan bala, dengan datangnya sakit. Beberapa areal sungai dipercayai tetua adat memiliki kekuatan adi kodrati yang dipatuhi komunitas orang-orang Banjar lama sebagai keseimbangan atas segala hal.
Baca juga: Tapak Bahari di Kaki Sulawesi
Pada kajian ilmiah, para sarjana menemukan fakta-fakta, lelaku itu justru menampakkan kesadaran utuh menjaga keanekaragaman hayati dan ekosistem keseluruhan sungai.
Adanya sebuah ritual kuno tertentu, yang meminta izin pada leluhur agar tak melanggar tabu, dalam pandangan modern adalah manifestasi penjaga harmoni antara alam dan manusia.
Kearifan budaya lokal itu masih tetap kita yakini mereka menyembah Yang Esa, memuliakan manusia sekaligus penghormatan tulus pada alam. Masyarakat Banjar lama, sampai saat ini tetap memperlakukan sungai secara harmoni.
Kita bisa menengok juga ke wilayah pesisir pantai Utara Jawa, seperti Subang, Indramayu, dan Cirebon dengan ritual Nadran. Ritual yang mengungkap rasa bahagia atas rezeki yang dilimpahkan selain permohonan perlindungan pada-Nya, terhadap segala hambatan tatkala mencari nafkah di lautan.
Di Kabupaten Indramayu, ritual Nadran digelar pada bulan Oktober sampai Desember berlokasi di Pantai Eretan Kulon, Eretan Wetan, Dadap, Limbangan dan Karangsong. Sedangkan di Kabupaten Subang, di antaranya adalah di Pantai Blanakan.
Nadran atau biasa disebut Labuh Saji sebuah prosesi memberi sesajen, yang dalam keyakinan Hindu adalah penghormatan pada leluhur. Sementara, dalam budaya Islam dikenal di masyarakat setempat sebagai semacam ikrar atau janji kepada Yang Maha Esa untuk melaksanakan sesuatu jika rezeki berhasil didapat.
Kekuatan simbolisme mereka sering diungkapkan pada objek-objek tertentu yang akan dilabuh ke lautan lepas. Misalnya, objek yang disebut sebagai Ancak. Sebuah anjungan yang meyerupai replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan lain sebagainya.
Sebelum dilarung ke laut Ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat tertentu diiringi dengan berbagai tradisi seni pertunjukan lokal seperti: tarling, genjring, barongsai, telik sandi, jangkungan, sampai ekspresi yang lebih kontemporer, yakni musik perkusi.
Dengan demikian, ritual tersebut, dalam skala luas adalah sebuah proyek kolektif, sebentuk abstraksi masyarakat Nusantara yang mentransedenkan lautan. Menjaga keseimbangan inderawi raga dan batin, antara kerinduan-kerinduan mengingat dan kembali atas takdir-Nya dan sebuah amanah untuk menjaga lautan.
Bagi bangsa ini, seharusnya entah laut, teluk, sungai dan segala yang berenergi kodrati telah membingkai kuat antara individualisme dan kolektivisme, antara yang magis dan bernalar, kemudian rasa kesoliteran dan solidaritas.
Semuanya semata cermin bagi kita untuk tidak mementingkan dan meninggikan golongan, etnik atau ras. Atau, mereka yang beruntung bermodal dan yang memiliki akses politik untuk merusak dan mengambil alih kuasa atasnya.
Sebab sumpah kesetiaan menjaga lautan, sebenarnya upaya terus-menerus mempererat ikatan kebangsaan untuk tetap berlaku adil dan setara. Kepada alam pun manusia, yang semoga tak tertampias oleh keserakahan dan lelaku zaman.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Sumpah Laut Sumpah KIta
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR