Sementara itu, penyemprotan aerosol di belahan bumi bagian selatan tidak akan menciptakan kekeringan, tetapi akan menciptakan badai tropis di Atlantik Utara yang berpotensi merusak.
Bukan hanya soal dampak terhadap lingkungan saja, kekhawatiran lain terhadap rekayasa iklim juga muncul.
Menurut kritikus seperti Pat Mooney dari ETC Group, organisasi lingkungan berbasis Montreal, geoengineering dapat memicu konflik global antara negara-negara beriklim sedang dan tropis dengan negara-negara utara yang kaya.
Mereka seakan-akan menetapkan suhu dunia, sementara zona tropis yang lebih miskin dibiarkan menanggung akibatnya.
Injeksi aerosol stratosfer mungkin bukan cara terbaik untuk melawan perubahan iklim, meski peneliti terus mematangkan dan bereskperimen dengan metode ini.
(Baca juga: Akibat Perubahan Iklim, Kini Beruang Jadi Vegetarian)
Namun, metode ini merupakan ide yang menarik dan bisa menjadi opsi menangkal perubahan iklim. Hanya saja penting untuk memikirkan risiko potensial dan konsekuensi yang tidak merata akibat dari rencana tersebut.
Artikel ini sudah pernah tayang di Kompas.com dengan judul Pro Kontra Rekayasa Iklim untuk Selamatkan Bumi dari Pemanasan Global.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR