"O tidak bisa Bapa. Kitorang harus tunggu dia punya toko buka sepulang gereja pukul sebelas. Itu sudah,” Salmon Wanares dan Alfred Manbrasar, pemandu selam kami berucap nyaris serempak dalam logat lembut khas Papua. Peralatan selam telah siap di seman (jukung, perahu bercadik), bermotor tempel tiada bersolar. Agaknya sia-sia kami tiba di pantai lebih pagi pukul 07:30 agar bisa berangkat lebih cepat 1,5 jam dari kemarin.
Saya, juga teman-teman, Nia, Andrias, Budhi, Edison, Iman, Ong merasa penjadwalan berangkat pukul 09:00 oleh Biak Diving, kemarin, terlalu siang untuk tiga kali penyelaman sehari. Titik penyelaman di Kepulauan Padaido dicapai sekitar satu jam dengan seman.
Iman dan Nia, ‘pemimpin’ perjalanan kami terus meyakinkan Salmon agar menjemput solar secepatnya. Tak mungkin kami pergi menyelam jelang makan siang karena menunggu depot solar buka. Tak lama, keduanya berjalan ke arah kampung, tempat tinggal pemasok langganan.
Baca juga: Perkenalkan, Myzomela irianawidodoae, Spesies Burung Baru Temuan LIPI
“Mereka yang harus mengikuti kemauan tamu, bukan sebaliknya,” tegas Nia lagi.
Saya tersenyum. Saat itu, kami memang sedang berada di tahap ‘selam dinas.’ Selam ‘tak mau rugi,’ ingin maksimal, setimpal kocek yang telah dalam-dalam kami rogoh untuk tiba di sini dari Jakarta.
Sikap kami yang penuh ‘tekanan’ agar target tercapai sesuai yang direncanakan benar-benar bertolak belakang dengan para warga di sini. Betapa mereka menjalani hidup seperti mengalir saja. Tak perlu tergesa-gesa.
Memang tak perlu ada yang dikejar di sini. Hidup sungguh nyaman dimanjakan alam Teluk Cenderawasih. Tak perlu kerja (terlalu) keras, semua bisa hidup sejahtera —kebutuhan hidup sehari-hari terpenuhi. Sekadar untuk lauk, ikan berlimpah cukup dipancing. Air kelapa dari nyiur yang meliuk-liuk di sepanjang pantai bisa memuaskan dahaga.
Bahwa ada sekelompok warga setempat mengelola perjalanan selam pun, sudah luar biasa. Walau orientasi untuk melayani para tamu dengan sebaik-baiknya masih harus lebih ditingkatkan. Untuk memenuhi standar.
Tapi saya puas dengan layanan mereka sejak kami mendarat dengan Garuda Indonesia pukul 05:10 WIT setelah menempuh 7 – 8 jam perjalanan malam. Bandara Frans Kaisepo kecil saja. Berbatasan dengan rumah penduduk, tepinya berpadang rumput dengan kambing yang asyik memamah biak.
Jarak bandara hanya sekitar 100 m dengan tempat kami menginap, Hotel Irian yang berada di tebing tepi pantai. Tersedia 48 ruangan, 20 berpendingin udara. Kami cukup berjalan kaki ke deretan kamar ber-AC berfasilitas sederhana —yang penting bersih dan air mandi mengalir lancar. Bagasi diurus Biak Diving.
Hotel yang masih mempertahankan kekhasan arsitektur kayu khas kolonial Belanda dengan bar, ruang makan dan ruang tamu yang nyaman ini termasuk yang terbaik di Biak, pulau terbesar dalam gugus kepulauan di muka Teluk Cenderawasih.
Indonesia Timur selalu mengembuskan energi positif. Bahkan sebelum mandi dan sarapan, kami merasa segar walau semalaman di pesawat tertidur dan sesekali terbangun dalam posisi duduk. Kondisi fisik dan mental kami siap untuk langsung berangkat menyelam.
Dalam dua seman, kami berangkat ke Catalina Point, barat daya Kota Biak, 45 menit dari Hotel Irian dengan laut begitu tenang. Saya dan Salmon ngobrol soal beragam perahu tradisional. Ada wai (kano), mansusu digunakan untuk perang antarpulau di masa lalu, dan wairon pengangkut perbekalan.
Kami mengawali 8 kali penyelaman yang dijadwalkan di Biak dengan wreck diving. Sasaran kami berada di kedalaman 21-30 m: PBY Catalina, pesawat amfibi produksi Consolidated Aircraft selama 1930- 1940. Buatan Amerika ini jadi salah satu pesawat beragam peran yang paling diandalkan selama Perang Dunia II. Tugasnya memunguti pilot pesawat yang jatuh ke laut, dan anti kapal selam dengan menjatuhkan bom begitu si kapal terpantau. Saya nyaris tak berkedip melihatnya.
Berbeda dari kebanyakan rongsokan pesawat yang telah jadi rumpon bawah laut —patah, berlubang besar, merapuh— Catalina nyaris utuh! Posisinya anggun, moncong mengarah ke atas, kaki dan ekor yang menapak mantap di dasar laut, mengesankan seolah-olah ia memang sengaja diletakkan di situ. Konon, pesawat ini tenggelam karena terbakar ketika sedang berlabuh. Entahlah.
Baca juga: Dikira Tidak Aktif, Gunung di Papua Nugini Meletus
Saya cukup puas bisa menangkap sebagian tubuhnya dalam kamera saku analog bawah laut saya, Sea&Sea MX-II, sementara Nia, Andrias, Budhi, Iman memuaskan memotret utuh dari segala posisi dengan kamera SLR, housing dan strobe profesional mereka. Terumbu karang ‘miskin’ tanpa banyak karang lunak dan karang batu hidup agaknya membuat laut sebening kristal. Tapi ikan lepu ayam, nudibranch (siput laut tak bercangkang) bahkan si langka kaibam (ikan Napoleon Wrasse), menemani kami berputar-putar, mengagumi si Catalina.
Penyelaman kedua, kami ke Kepulauan Padaido, gugus 30 pulau di tenggara Biak. Sesuai maknanya dalam bahasa Biak —keindahan yang sulit dilukiskan— memang mengundang decak ketika kami hampiri. Kadang disebut Schoutenlands untuk menghormati Willaim Schouten yang ‘menemukan’ kepulauan ini pada 1962. Sayangnya, penyelaman di Marina Point, Pulau Owi, buat saya ‘membosankan.’ Wajah terumbu karang tak berbeda dari penyelaman pertama, dan ikan begitu sepi. Ada kepiting lumayan besar, seukuran dua telapak tangan terjerat tali pancing. Saya tak bisa melepaskan talinya. Budhi yang membawa pisau selam pun membantu.
Salmon dan Alfred Mambrasa rajin juga mencari objek, menukik sekitar 10 meter ke bawah saya yang bertahan di posisi 20-an meter saja. Lalu terdengar denting tangki udara yang dipukul tongkat besi, Alfred memberi isyarat, telapak tangan vertikal di depan dahi —ada dua hiu! Kami spontan menukik. Hiu pasti berkelebat pergi begitu dihampiri.
Wall diving di penyelaman ketiga di Pulau Rurbas kecil diwarnai terumbu karang lumayan subur, beberapa bagian porak-poranda, khas terkena bom ikan, tapi sebagian mulai ditumbuhi soft coral. Ikan tetap sedikit sekali, mungkin berkelana ke tempat lain yang lebih banyak makanannya. Saya fokus mengamati hal-hal kecil: kepiting laba-laba di karang lunak gelembung, nudibranch hijau.
Giru si clown fish agaknya sedang dalam masa kawin. Mereka yang biasa tenang-tenang di anemon, tiba-tiba menghampiri saya yang masih berjarak beberap meter darinya. Saya teringat pengalaman di Bali, ketika tangan saya dan rekan pernah dipatuk hingga berdarah oleh makhluk kecil menggemaskan yang berubah galak kalau menyangkut perlindungan anak.
Baca juga: Peneliti Temukan Rahasia Penyakit Malaria, Jalan Bagi Vaksin Baru
Kami makan malam sedap dengan papeda (bubur sagu) yang disantap dengan kuah ikan segar di rumah makan di pusat kota. Dengan perut puas, kami menuju Pasar Inpres Biak. Sejumlah penjaja menata pinang, sirih, kapur di meja-meja kecil. Akhirnya kami menemukan sasaran utama: durian! Terutama bagi saya dan Andrias, daging tebal kering legit ‘pahit’ beralkohol yang didatangkan dari pulau-pulau sekitar itu betul-betul mantap. Hari pertama yang menyenangkan.
Kembali ke hari kedua
Salmon, Alfred dan juru mudi perahu muncul dengan masing-masing menjinjing jerigen solar. Mereka berhasil membeli walau toko belum buka.
Hari itu jadwal kami wall diving, terumbu karang bak dinding. Ke Pulau Mansor Babo yang bermakna tunas baru, kami terhibur oleh pari burung, ikan balon besar dan banyak anemone meski hanya satu yang berpenghuni udang bening. Penyelaman kedua di tempat sama menyuguhkan penyu, lepu batu, dan untuk pertama kalinya: ikan lumayan banyak. Saat surface interval (jeda antarpenyelaman), para pemandu berkata bahwa tadi ada hiu ujung sirip putih. Saya tak melihat.
Ke Calien Martin Point di Pulau Undi menantang nyali, menyelam ke semacam potongan goa bawah laut dengan 3 rongga raksasa. Air jernih sekali. Ketika akan naik ke perahu, Andrias bermain-main dengan cadik, ingin duduk di situ. Cadik pun terlepas. Setelah dibetulkan pun, juru mudi dan pemandu merasa perahu tetap tak stabil. Walau saat itu perairan serata kaca, untuk kembali ke Biak, risiko harus dihindari. Laut bisa berubah setiap saat. Diputuskan untuk mampir ke Pulau Undi membetulkan cadik.
Blessing in disguise. Sementara perahu diperbaiki, kami punya kesempatan sejenak menjelajah pulau berpantai pasir putih itu. Rongsokan tank, torpedo sisa PD II teronggok, menyisakan daya, mengembuskan asap materialnya lewat celah karat.
Di muka sebuah rumah, sekelompok ibu sedang menyiapkan barapen atau bara api yang diletakkan di antara batu-batu karang. Ini budaya khas warga Biak. Di atasnya diletakkan ikan panggang yang disebut ikan kulit pasir. Bagian kulit luar ikan mirip pasir halus, pipih dan bagian kepala memiliki ‘tanduk’ sepanjang 3-10 cm. Ikan jenis ini biasanya disuguhkan pada tamu kehormatan. Konon, rasanya gurih. Sayang, kami mesti cepat pergi.
Malam itu, kami melencer kembali ke pasar. Tomat, cabai, bawang merah dan putih ditakar dan ditata sekelompok-sekelompok oleh penjaja yang kebanyakan wanita. Ada seorang Oma begitu rapi mengenakan kebaya khas Papua, rambutnya yang memutih disanggul rapi, mengingatkan pada oma-oma di Maluku.
Hari terakhir penyelaman
Kami kembali ke Mansor Babo mengincar imampir, bahasa setempat untuk baraccuda. Muka bawah laut berbukit-bukit kecil dengan padang pecut laut, mengingatkan pada Maratua, Kalimantan Timur. Inggarfor (ikan kuwek), iman swaref (ikan kambing, rainbowfish), 3 hiu ujung sirip putih kecil dan 1 grey shark lumayan menggantikan barakuda yang tak muncul.
Kami pindah ke Pulau Undi, ikan cukup ramai dengan gerombolan kuwek, tuna, ekor kuning dan layur. Akhirnya kami, kami melihat segerombolan barakuda. Sayangnya mereka hanya bolak-balik ke kanan-kiri. Gerakan mereka melingkar-lingkar seperti yang kita saksikan di foto dan video bawah laut hanya terjadi bila arus begitu kuat. No current, no life.
Penyelaman ketiga, perairan Teluk Cenderawasih agaknya ingin memberi kesan baik bagi kami agar Bila Ingat Akan Kembali —konon akronim BIAK. Laut bisa berpenampilan beda walau di tempat sama. Ada gerombolan barakuda, ikan kambing, kuwek dan Napoleon Wrasse kecil. Sementara saya tetap di kedalaman 20-an meter, yang lain menuju kedalaman 30-an m. Masih cukup jelas untuk menangkap geliat 3 hiu yang langsung melesat pergi. Datang satu hiu lagi. Ukurannya terbilang besar, sekitar 3 m. Meliuk dan berputar-putar seolah peragawati yang memberi kesempatan Nia, Iman, Budhi dan Andrias membidikkan kamera sepuasnya.
Baca juga: Sang Asteroid AntarBintang, Oumuamua
Sore itu, kami ke pusat Kota Biak untuk mencari oleh-oleh. Sebenarnya, tiap kali kami makan di rumah makan, atau berjalan-jalan seperti ini, ada saja warga setempat yang menghampiri, menawarkan kerajinan tangan, cendera mata. Mereka tak memaksa bila kita tak berminat. Sikap yang menyamankan wisatawan. Saya pun membeli seperangkat busur dan anak panah dari pria tua yang sopan.
Di toko cendera mata, ada lukisan kulit kayu, ukiran kayu, tifa dan koteka, seperti yang ditawarkan di Jayapura. Juga kaos oblong. Saya pilih yang bertema diving Biak dan Kepulauan Biak. Pasangan pemilik toko ternyata warga Bugis, mewakili kelompok pendatang yang senang berdagang. Selain warga asli Biak dan Papua dari Tanah Besar dan pulau-pulau sekitar beretnis Melanesia, Biak juga diramaikan oleh transmigran dari Jawa.
“Kami buat di Bandung,” ujar si wanita penjaja. “Soalnya sablon di sini belum baik hasilnya. Seperti ini, separasi warnanya belum sempurna. Tak baik dijual.”
Boleh juga sikapnya. Tetap jaga mutu, walau juga tetap memberi kesempatan warga setempat untuk mencoba keterampilan dan usaha baru.
Hari keempat
Kami memutuskan lebih baik menjejajah daratan Biak saja. Inilah hari kami harus jeda, minimal 24 jam setelah penyelaman terakhir, untuk mencegah gangguan kesehatan akibat penyelaman berseri, sebelum terbang ke Jakarta.
Pagi itu Alfred dan Salmon menjemput dengan mobil. Biasanya kami ke pusat kota naik angkutan kota dari luar bandara. Angkutan kota agak jarang sampai memutar jalan dekat bandara. Kami biasanya menunggu di lobi hotel, tak perlu takut ketinggalan si mobil kecil yang lewat. Inilah yang khas: sang sopir selalu menyetel musik kencang-kencang, diperkuat oleh pengeras suara di bagian belakang. Dari jauh pun sudah terdengar. Jadi, kami baru beranjak ke jalan raya begitu si musik sudah tertangkap telinga.
Kami mengarah ke Pantai Marauw, 29 km dari bandara. Kami tiba di Hotel Biak Beach, yang pernah menjadi resor termewah di Biak. Dalam Indonesian New Guinea West Papua/Irian Jaya, susunan Kal Muller terbitan Periplus, 2001, hotel bintang 5 ini disebut sebagai ‘pusat’ pembangunan Biak. Semua kamarnya menghadap laut dengan balkon pribadi, pendingin ruangan, interior mewah dilengkapi kafe, restoran, bar, fasilitas olahraga, rekreasi dan konferensi.
Baca juga: Kotoran Ayam Bisa Menghasilkan Tenaga Listrik
Harga cottage mulai USD 90, suite hingga USD 500. Inilah persinggahan nyaman ketika Biak jadi pemberhentian pertama di Indonesia bagi pelancong yang terbang dari AS untuk mengisi bahan bakar sebelum melanjutkan ke Bali atau Jawa. Ketika Garuda Indonesia masih memiliki penerbangan Jakarta – Los Angeles, transit di Biak. Tak heran saat itu Biak ramai dan sibuk. Bandara Frans Kasiepo menjadi salah satu bandara di Indonesia yang dapat didarati pesawat besar sejenis Boeing 747.
Hanya berselang lima tahun, ketika tiba, kami hanya mendapati hotel ini mendekati puing-puing. Bangunannya masih kokoh berdiri, dengan pernik khas Papua di lobi utama. Tapi sejumlah dinding dan lantai meninggalkan jejak penjarahan. Sejak Garuda Indonesia menghentikan penerbangan langsung dari Amerika, semuanya mendadak sepi. Hotel dan pengelola tak mampu bertahan. Entahlah, mengapa Garuda Indonesia meninggalkan ‘pasar basah’ ini.
Hari-hari itu, marak berita bahwa Biak akan dijadikan pangkalan roket negeri adidaya. Alfred dan Salmon bahkan membujuk kami membeli tanah di sini, yang masih cukup murah, sebelum dipastikan melonjak jika proyek tingkat tinggi itu terlaksana.
Sambil berharap, Garuda Indonesia kembali menjadwalkan penerbangan internasional langsung ke sini, dan ada penanam modal baru bagi si hotel merana, kami mengarah ke Pantai Parai berpasir putih, 5 km ke barat dari pusat Kota Biak. Ada semacam bangunan melengkung yang mengingatkan pada Teater Keong Mas TMII, yang menjadi semacam museum kecil dengan pernak-pernik perlengkapan tentara Jepang yang tertata rapi dalam panel-panel kaca.
Pelataran pun tersemen rapi dengan tonjolan-tonjolan kecil bak nisan. Taman kenangan indah terawat dengan bantuan dana rutin pemerintah Jepang ini sesekali diziarahi wisatawan negeri matahari terbit itu.
Kami pun bergeser ke Kampung Sumberker, menengok peninggalan PD II yang lain. Ke Gua Jepang yang disebut warga setempat, Abiyau Binzar, goa nenek (abiyau = goa, binzar = nenek). Konon dulu seorang wanita tua tinggal di sini. Jepang memanfaatkan gua alam sepanjang 3 km yang ditemukan pada 1943 dengan tiga ruang besar di dalam gua sebagai gudang perbekalan, tempat persembunyian dan penyerangan melawan Sekutu pimpinan Amerika.
Benteng alam tangguh bagi Jepang ini akhirnya pada pagi 7 Juli 1944 berhasil diserang AS, diguyur bensin dan membara selama beberapa bulan yang menewaskan 3.000 tentara Jepang. Kini menjadi salah satu tujuan wisata utama Biak, dengan hutan sekitarnya terjaga. Tak sulit untuk mencapai bagian dalam gua yang dipenuhi stalagtit dan stalagmit itu. Telah ada tangga berpagar. Suasana juga tak pengap karena langit-langit tinggi dan rongga besar mengembuskan udara segar dari luar.
Kami juga mampir ke Museum Kenangan PD II dekat gua yang menempati bangunan tembok dengan banyak jendela, beratap seng berbentuk honai, rumah tradisional Papua. Di dalam kita bisa melihat pernik militer Sekutu dan Balatentara Jepang, dari tempat minum, selongsong peluru sampai granat berkarat. Di halamannya yang menghijau asri teronggok sisa-sisa mesin perang seperti meriam dan tank.
Tentu saja kami tak lupa menikmati kekayaan Bumi Biak yang sebagian disajikan di Taman Burung dan Taman Anggrek di area seluas 5 ha di Distrik Biak Timur.
Soal anggrek, selama di Biak, sejumlah penjaja asongan kerap menawarkan anggrek lokal yang memang indah itu. Kalau sudah begini, kami saling mengingatkan untuk tak tergoda membeli. Kami tak tahu apakah anggrek-anggrek itu termasuk jenis yang dilindungi. Kalaupun kami beli, apakah mereka akan bertahan hidup di Jakarta? Kendati sekilas Jakarta sepanas Biak, apakah perbedaan iklim menjamin bahwa anggrek yang hijrah itu akan bertahan hidup?
Ngomong-ngomong soal panas, Kal Muller menyebut bahwa istilah Irian yang sempat menggantikan Papua sebagai nama bagi pulau terbesar kedua setelah Greenland ini dicetuskan oleh warga Biak terkemuka, yaitu Frans Kaisiepo, yang tampil dalam Konferensi Malino 1946. Istilah ini ditujukan bukan terhadap seluruh wilayah Papua, tapi hanya di daerah Waropen, dekat Biak, yang bermakna “iklim panas.” Sebelumnya, info yang saya dapat, IRIAN merupakan akronim Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.
Hari terakhir di Biak
Kami menyempatkan ke Pasar Inpres Biak, tempat terbaik untuk mengenali kekayaan alam, kekhasan budaya dan corak perekonomian setempat.
Ada talas besar-besar yang menjadi makanan pokok setempat, ditemani kuah ikan. Ada peralatan masak dan makan dari kayu: garpu khusus untuk ‘mengangkat’ papeda —bubur sagu lengket kenyal— ke piring. Ada daun ubi dan ragam sayur-mayur, serta dendeng asap kuskus —masih utuh, lengkap dengan kepala, tapi badan disayat pipih, melebar disemat dalam bilah bambu.
Baca juga: Enam Tempat Terbaik Untuk Menyaksikan Langit Penuh Bintang
Dengan berat hati, sore itu kami terbang kembali ke Jakarta. Meninggalkan keramahan alam dan penduduknya.Sekelompok penyelam mengatur perjalanan ke Biak setelah mendengar pengalaman kami yang menyenangkan. Hanya berbeda beberapa minggu dari kami. Tetapi, laut memang mudah berubah. Teman-teman kami urung menikmati dengan puas karena lautan begitu keruh. Sementara saya masih terkenang laut sebening kristal di seputar Biak dan Padaido.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR