Selasa (23/01/2018) siang lalu, gempa cukup keras membuat warga Jakarta, Banten, dan sekitarnya berhamburan ke luar rumah dan kantor. Gempa berkekuatan M 6,1 itu berpusat di Samudera Hindia sebelah sebelah barat daya Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Diperkirakan pusat gempa ini berada di kedalaman 61 kilometer di bawah laut. Selain itu, pusat gempa berjarak 67 kilometer arah barat daya Sukabumi.
Gempa ini menandai aktifnya zona tektonik di kawasan tersebut.
Baca juga: Gempa Jakarta: Waspada Gempa Sunda Megathrust
Dampak Gempa Cukup Luas
Gempa yang terjadi pada pukul 13.34 WIB ini juga menjadi peringatan kesiapsiagaan terhadap gempa karena dampaknya bisa mencapai Jakarta, sekitar 140 kilometer dari pusat gempa.
Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, menyebut bahwa berdasarkan kedalaman sumber dan dampaknya, gempa ini diduga terjadi di intraslab atau dalam Lempeng Eurasia yang tertekan pergerakan Lempeng Indo-Australia.
"Ciri gempa intraslab menciptakan dampak guncangan cukup kuat. Gempa di zona ini seperti yang terjadi di Tasikmalaya pada 15 Desember 2017," ujar Daryono dilansir dari Kompas.id, Rabu (24/01/2018).
Hal itulah yang menyebabkan meski gempa tersebut berkekuatan kecil namun dampaknya cukup luas. Selain itu, saat dihubungi Kompas.com melalui pesan singkat pada Selasa (23/01/2018), Daryono mengibaratkan dampak gempa seperti kerucut terbalik.
"Analoginya seperti kerucut yang terbalik, semakin dalam pusat gempa, maka wilayah yang terkena dampaknya akan semakin luas. Tetapi, kekuatannya berkurang seiring cakupan wilayahnya yang luas. Gempa itu merembet melalui kerak bumi, gempa tadi juga sampai ke Yogyakarta dan Lampung," kata Daryono.
Gempa kemarin juga menandai aktivitas zona tektonik di selatan Jawa yang kian meningkat. Hal ini ditegaskan oleh Irwan Meilano, ahli geodesi kebumian di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Peningkatan aktivitas ini terutama terdeteksi setelah gempa bermagnitudo &,8 yang memicu tsunami di Pangandara pada 2006. Selanjutnya, aktivitas terus terjadi seperti gempa berkekuatan M 7,3 dan M 6,9 di selatan tasikmalaya pada 2009.
"Kami belum tahu kenapa ada peningkatan aktivitas di zona ini. Namun, dugaan kami ini bukan melepas energi sehingga mengurangi risiko gempa besar di Zona Megathrust selatan Selat Sunda-Selatan Jawa," kata Irwan.
Danny Hilman Natawidjaya, ahli gempa bumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), juga mengkhawatirkan makin aktifnya zona tektonik di selatan Jawa tersebut.
"Meskipun lokasi sumber gempanya berbeda-beda, kalau dari aspek mitigasi bencana, yang harus paling diperhitungkan yang Megathrust selatan Jawa," ungkap Danny.
Aktivitas zona tektonik ini juga menegaskan apa yang tercantum pada Peta Gempa Bumi Nasional 2017. Dalam peta tersebut disebut tentang potensi gempa berkekuatan M 8,7 yang mungkin terjadi di selatan Jawa Barat.
Namun, menurut kajian peneliti gempa ITB, jika segmen gempa selatan Jawa itu runtuh bersamaan, kekuatannya dapat mencapai M 9,2. Dengan kata lain, mungkin gempa tersebut setara dengan gempa Aceh pada 2004.
Danny menjelaskan, sekalipun data tentang potensi gempa besar di selatan Jawa makin banyak ditemukan, tapi belum bisa diprediksi kapan dan di mana gempa tersebut akan terjadi. Apalagi, hingga saat ini, sebagian besar zona kegempaan di Indonesia belum terpetakan dengan baik.
Baca juga: Mitos Purnama Picu Gempa, Ini Penjelasan Peneliti
Meski begitu, Danny mengatakan bahwa gempa kali ini harus menjadi peringatan untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bahaya gempa, termasuk Jakarta.
"Jakarta yang relatif jauh dari zona selatan Jawa ternyata juga terguncang kuat. Ini salah satunya dipicu oleh kondisi tanahnya yang lunak dangen batuan dasar yang sangat dalam sehingga memperkuat dampak guncangan gempa," ujar Danny.
Artikel ini sudah pernah tayang pada Kompas.com. Baca artikel sumber.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR