Nationalgeographic.co.id—Pelajaran sejarah di sekolah kerap disangsikan, membosankan, dan mengundang kantuk. Berkali-kali isu itu muncul dan selalu menghiasi jagat pendidikan sejak lama.
Hari itu, Seorang siswa lantas bergegas menuju ke depan kelas kala pelajaran sejarah segera dimulai. Ia terlihat membenahi laptopnya, menampilkan sesuatu yang tak biasa di depan kelas.
Sebuah tautan ditampilkan. Itu adalah salah satu artikel yang dimuat di laman National Geographic Indonesia.
Pekan ini, dimulai pada 28 Januari 2022, Ibu Aliyah selaku guru sejarah di SMA Al Islam 1 Surakarta, meminta saya untuk membagikan pengalaman berharganya, mengajarkan kepada siswa tentang cara menulis sejarah lokal.
Undangan dari Ibu Aliyah kepada saya, bukan semata-mata karena ajakan belaka, melainkan bertepatan dengan materi sejarah di kelas X (Sepuluh), tentang historiografi atau penulisan sejarah. Ibu Aliyah mengusung tema 'bagaimana cara menulis sejarah lokal?'.
Di samping itu, SMA Al Islam 1 Surakarta yang telah terpilih sebagai salah satu pionir 'Sekolah Penggerak', telah menjalankan sistem kurikulum yang disebut dengan 'Kurikulum Prototipe'.
Suatu terobosan yang menggugah, di mana siswa kelas X yang telah menerapkan Kurikulum Prototipe, dituntut untuk dapat menghasilkan tulisan berupa jurnal ilmiah.
Baca Juga: Apakah Kita Mengingat Pelajaran Berharga Setelah Pagebluk Berlalu?
"Siswa itu kan di akhir (hasil belajarnya) harus bisa menghasilkan tulisan ilmiah (jurnal ilmiah), mereka harus diajari (diajarkan) caranya menulis, terutama yang minat dengan sejarah," ungkap Ibu Aliyah kepada National Geographic Indonesia.
Jelas, sistem dalam kurikulum telah menetapkan target yang harus diaplikasikan oleh siswa. Nyatanya, tuntutan itu terilhami pada suatu landasan, kajian berupa pendekatan dalam tatanan kurikulum baru.
Landasan yang digunakan, berdasar pada kajian yang dilakukan oleh Carol Ann Tomlinson dan Marcia B. Imbeau, dalam bukunya berjudul A Differentiated Approach to Common Core yang dipublikasi pada tahun 2014.
"Siswa sudah harus mengaplikasikan (apply) dan mentransfer (transfer) apa yg mereka pelajari, transfer itu yg mereka tuangkan ke dalam karya jurnal ilmiah," tulis Tomlinson dan Imbeau.
Tuntutan ini yang kemudian melatih cara berpikir siswa ke arah yang lebih maju, di mana mereka dihadapkan pada kemampuan berpikir secara kompleks untuk dapat memahami, mengaplikasikan, dan menuangkannya kembali ke dalam bentuk tulisan.
Pembelajaran sejarah telah dihadapkan pada paradigma baru, tidak hanya mengajarkan siswa berpikir kritis, tetapi juga mengajak siswa untuk mengaplikasikan konsep historiografi melalui karya tulisnya.
Baca Juga: Sekelumit Sejarah Kapadokia dan Pariwisata Balon Udara yang Populer
Benar saja, saat pembelajaran dimulai, Ibu Aliyah telah mempersiapkan siswanya untuk membuka laman National Geographic Indonesia, sebagai acuan dan stimulus untuk dapat menulis sejarah.
"Saya lihat, National Geographic banyak mengangkat tentang kajian sejarah, maka dari itu, saya ingin anak-anak (siswa) bisa menulis sebagaimana cara menulis sejarah di sana (National Geographic)," lanjut Ibu Aliyah.
Salah satu artikel yang dikupas tuntas sistematika penulisannya berjudul "Masjid Syarif, Perdikan Keraton dalam Dakwah Kiai Syarif di Kartasura", yang dipublikasi oleh National Geographic Indonesia pada 19 Januari 2022.
Berbeda seperti sebelumnya, Ibu Aliyah menyadari antusiasme siswa saat menghadirkan pendekatan baru dalam pembelajaran sejarah, sehingga terkesan tidak monoton. Seisi kelas hening, memperhatikan dengan serius saat penulis mulai membagi pengalamannya.
Siswa memahami empat pilar penting dalam merumuskan penulisan sejarah lokal, mulai dari penelusuran artefak (sejarah), narasumber sebagai sumber folklore, manuskrip lokal, dan dokumentasi berupa foto atau gambar, sebagai penguat marwah dalam penulisan sejarah.
Selepasnya, beberapa siswa maju, mengaplikasikan hasil risetnya tentang narasi sejarah lokal, seperti halnya 'Sejarah Univeristas Sebelas Maret Surakarta dan Dinamika Sosial di Sekitarnya'. Suatu feedback yang luar biasa untuk jenjang siswa di kelas X.
Melalui pendekatan paradigma baru, kelas-kelas di ruang sejarah tak seperti isu miring belakangan, yang berisi kejumudan dan kantuk di sepanjang pembelajaran.
Menghadirkan pendekatan baru melalui situs web National Georaphic Indonesia telah menjadi sumber belajar baru bagi siswa, sebagai stimulus, dan acuan dalam memberi pandangan siswa dalam menulis sejarah.
Baca Juga: Inilah Model Pendidikan yang Merdeka bagi Masyarakat Sedulur Sikep
Source | : | National Geographic Indonesia,A Differentiated Approach to Common Core |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR