Nationalgeographic.co.id—Siapa yang tak kenal prajurit perang Sparta? Pasukan yang tak terkalahkan dalam sejarah dan dibuat ke dalam banyak buku dan film. Nyatanya, memiliki musuh bebuyutan yang pernah mengalahkannya dalam pertempuran.
Ialah Thebes, prajurit perang kuno milik Yunani yang tidak biasa. "Selama kurang lebih empat puluh tahun selama abad ke-4 SM, sebuah unit militer yang dikenal sebagai Kelompok Suci Thebes, tidak terkalahkan di medan pertempuran," tulis History.
History menerbitkan sebuah artikel di laman websitenya berjudul The Army of Same-Sex Lovers who Made Up Sparta's Biggest Rivals, yang terbit pada 2022.
Bahkan, selama ini mereka telah berhasil mengalahkan tentara Sparta dalam ukiran sejarah, menghancurkan citra Sparta sebagai pasukan yang tak terkalahkan dan selamanya mengubah keseimbangan kekuasaan.
"Prajurit perang Thebes telah dilatih, ditempatkan, dan dibiayai oleh negara-kota Yunani Thebes. Mereka adalah pejuang profesional, yang sangat tidak biasa di Yunani kuno," demikian seperti yang dilansir History.
Didirikan sekitar 379 SM, divisi pertempuran elit dibentuk sebagai cabang tentara Thebes oleh seorang pria bernama Gorgidas. Menariknya, dilansir dari History, sekitar 150 pasang kekasih sesama laki-laki atau homo seksual terdapat dalam barisan pasukan perang mereka.
"Gorgidas memilih sendiri 300 pria, dipilih karena atribut fisik dan prestasi militer mereka, serta fakta bahwa mereka semua adalah pecinta sesama jenis."
"Pandangan tentang homoseksualitas atau hubungan sesama jenis di Yunani Kuno dibedakan bukan oleh hasrat seksual, tetapi lebih dipersepsikan oleh peran yang dimainkan masing-masing partisipan, baik sebagai penetrator, atau penetrasi pasif," seperti yang dilansir Heritage Daily.
Media ini menerbitkan tulisan tentang fenomena homoseksualitas pasukan militer Thebes dalam artikelnya berjudul The Sacred Band of Thebes – The Elite Military Unit of Same Sex Lovers, dipublikasi 30 Juni 2021.
Peran penetrator berhubungan dengan atribut yang dominan, maskulin, dan berstatus sosial yang tinggi, sedangkan peran pasif dikaitkan dengan feminitas, status sosial yang lebih rendah, dan pemuda, yang sering menjadi subjek stigma sosial dalam masyarakat Yunani.
Menurut filsuf dan sejarawan Plutarch (46 – 119 M), Salib Suci terdiri atas 300 pria pilihan, yang diidentifikasi sebagai erastês yang lebih tua atau erômenos pasif yang lebih muda, yang akan bertukar sumpah suci dan beribadah di kuil Iolaus (mengklaim sebagai salah satu pencinta Heracles) di Thebes.
Selama waktu mereka di Salib Suci Thebes, 300 pria terlibat erat dalam hubungan sesama jenis yang berdedikasi, di mana seorang pria yang lebih tua akan dipasangkan dengan pria yang lebih muda dan kurang berpengalaman.
Baca Juga: Menelisik Lesbos, Pulau Kecil Yunani Asal Mula Kata 'Lesbian'
Baca Juga: Empusa, Iblis Wanita Penghisap Darah Manusia dalam Mitologi Yunani
Baca Juga: Diogenes dari Yunani Kuno: Tengil hingga Masturbasi di Ruang Publik
Meskipun diperdebatkan keabsahannya oleh para sejarawan, gagasan tentang kekuatan tempur yang dibangun dengan hubungan kasih sesama pasukan, bisa jadi diilhami oleh tulisan-tulisan awal filsuf Yunani Plato dalam Simposiumnya.
Dalam teks ini, Plato berpendapat bahwa sebuah divisi yang seluruhnya terdiri atas kekasih laki-laki dapat menaklukkan dunia:
"Mereka (orang-orang Thebes) merancang bahwa negara atau tentara harus saling memiliki cinta, dan masing-masing adalah sepasang kekasih, maka mereka bertarung bersama. Meskipun hanya segelintir (pasukan), mereka tetap akan mengalahkan dunia!"
Gay bukanlah kata yang dapat digunakan untuk orang kuno sama sekali karena mereka tidak memikirkan dunia dalam dikotomi ini (gay, bukan gay, dll). Pada dasarnya, seksualitas Yunani kuno berada pada sebuah kontinum yang menerima akan hubungan sejenis.
Source | : | History,Heritage Daily |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR