Nationalgeographic.co.id - European Organization for Nuclear Research (CERN) berdiri sejak Perang Dunia II untuk mempersatukan ilmuwan dan akademisi dunia. Ketika invasi Rusia terhadap Ukraina, dalam rilisnya hari Selasa (08/03/2022), mereka mengecam serangan itu.
Organisasi sains tingkat internasional ini memang mengedepankan inklusivitas, di mana ilmuwan Israel dan Iran, latar belakang ras dan agama berbeda bisa bekerja sama. Mereka mengecam akan sikap Rusia yang juga menutup dirinya dalam isolasi internasional, sehingga membuat akses ilmuwan Rusia juga terluntang-lantung.
Para ilmuwan dan jurnalis sains Rusia kemudian mempublikasikan surat terbuka di Troitskiy Variant, publikasi sains independen Rusia pada 24 Februari. Mengutip New York Times, mereka memprotes bahwa tindakan pemerintahnya tidak adil dan tidak masuk akal.
"Artinya kita, para ilmuwan, tidak akan bisa lagi melakukan pekerjaan kita secara normal: Lagi pula, melakukan penelitian ilmiah tidak terpikirkan tanpa kerja sama penuh dengan rekan-rekan dari negara lain," tulis mereka.
Diketahui, ada 7.750 orang Rusia menandatangani surat itu, menurut Andrei Linde, kosmolog Stanford Unversity berkebangsaan Rusia yang juga menandatanganinya. Dia juga pernah ditindak pidana 15 tahun penjara karena menyebut invasi Ukraina sebagai 'operasi militer khusus'. Tetapi, surat itu menghilang dari laman publikasi itu walau masih bisa ditemukan lewat laman arsip Wayback Machine.
Mengutip Washington Post, ahli iklim Oleg Anisimov dari State Hydrological Institute in Saint Petersburg yang merupakan delegasi Rusia untuk Panel Antarpemerintah tentang Perubahan PBB pada 27 Februari juga beraksi. Dalam pertemuan itu ia menyela pembicaraan di depan 195 perwakilan negara dan meminta maaf untuk warga Ukraina atas serangan yang dilakukan negaranya.
"Izinkan saya meyampaikan permintaan maaf atas nama semua orang Rusia yang tidak dapat mencegah konflik ini," kata Anisimov. "Mereka yang tahu apa yang terjadi gagal menemukan kebenaran untuk serangan itu."
Ilmu pengetahuan masa kini tidak terlepas dari hubungan ilmuwan dan akademisi internasional. Beberapa makalah dan studi, baik ilmu mikrobiologis, sosial, hingga antariksa, bahkan dilakukan berkat hubungan lintas negara itu.
Melansir Science, invasi Rusia ke Ukraina mebuat para ilmuwan Ukraina berulang kali melakukan permintaan kepada editor jurnal internasional untuk menolak menerbitkan makalah dari ilmuwan Rusia. Akan tetapi, mayoritas jurnal dan penerbit menolak permintaan itu, termasuk Science sendiri.
Baca Juga: Perubahan Iklim, Rusia Bagian Asia Bisa Layak Huni pada Akhir Abad 21
Baca Juga: Apa Itu Bom Vakum? Ukraina Mengklaim Rusia telah Menggunakannya
Baca Juga: Masih Mengandung Limbah Nuklir, Apa yang Terjadi Jika Chernobyl Dibom?
Alasannya, jurnal memegang prinsip penerbitan ilmiah yang telah berlaku sejak lama di International Science Council. Isinya adalah untuk tidak mendiskriminasi penulis berdasarkan kebangsaan atau pandangan politik mereka, karena pernyataan ini adalah mewujudkan cita-cita yang berlangsung sejak Perang Dingin, ketika editor jurnal dunia menyambut makalah dari penulis di Uni Soviet.
"Jika sekarang kita berperang dengan ekonomi dan kekuatan lunak, bukankah itu berarti bahwa lembaga sains, termasuk jurnal harus memutuskan hubungan dengan lembaga Rusia dan bahkan mungkin ilmuwan Rusia juga?" Richard Smith mempertanyakan kondisi saat ini di kanal opini British Medical Journal (BMJ). Dia sendiri adalah mantan editor BMJ. "Saya senang bahwa saya bukan lagi editor dan tidak harus memutuskan."
Sebenarnya, larangan penerbitan makalah ilmiah sempat terjadi juga pada Perang Dunia Pertama yang berlangsung hingga 1931.Pada saat itu penerbitan makalah ilmiah memboikot hasil temuan para ilmuwan Jerman dan Austria.
Namun, sejarawan Princeton University di bidang kajian Rusia Michael Gordin berpendapat hal itu terbukti tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Boikot itu tidak cukup kuat untuk menghentikan perang yang digelorakan Jerman.
"Itu tidak menghentikan sains apa pun," ujarnya di Science. Dia menjelaskan, Ilmuwan Jerman masih terus menerbitkan jurnal berbahasa Jerman selama 1920-an, bahkan memenangkan Penghargaan Nobel. "Dan [boikot] juga tidak menghalangi para ilmuwan untuk menjadi jingoistik (mengagung-agungkan negaranya) dalam perang berikutnya."
"Tidak pernah jelas apa yang seharusnya dicapai selain membuat orang tertentu merasa seperti mereka sedang menghakimi orang Jerman." Dan pelarangan itu berakhir di tahun 1926 ketika Jerman bergabung dengan Liga Bangsa Bangsa (LBB).
Dia memandang untuk saat pemboikotan terhadap hasil penelitian ilmuwan Rusia adalah memiliki tujuan yang tidak jelas, walau tindakan Rusia sendiri tidak bisa dibenarkan.
Baca Juga: Ancaman Rusia atas Sanksi AS, Bagaimana Nasib Stasiun Luar Angkasa?
Baca Juga: Punya Masalah Sejak Lama, Kenapa Rusia Bergerak ke Ukraina Sekarang?
Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?
Sampai saat ini masih banyak masyarakat (terutama ilmuwan, mahasiswa, dan akademisi) Rusia di negara-negara Barat. Beberapa ilmuwan Barat menaruh perhatian pada nasib mereka akibat konflik politik ini.
Salah satunya seruan terbaru yang diterbitkan pada Kamis (24/03/2022) kemarin. Seruan itu ditulis oleh ahli astrofisika John Holdren, peneliti biologi molekuler Nina Fedoroff, profesor astrofisika Neal Lane, ahli biologi Nick Talbot, dan ahli biologi evolusioner Toby Spiribille.
Mereka mengajak agar para ilmuwan lainnya tidak mendiskriminasi ilmuwan Rusia atas konflik Rusia-Ukraina.
"Banyak dari mereka (akademisi dan mahasiswa Rusia) telah mengkritik pemerintah Rusia di media atau telah menandatangani pernyataan yang diedarkan secara luas oleh para akademisi dan intelektual Rusia yang mengecam invasi Rusia," tulis mereka.
Mereka menyerukan agar tidak boleh menyamakan masyarakat Rusia dengan pemimpin mereka. Pandangan kemanusiaan terhadap mereka juga harus dijaga, seperti jangan mendiskriminasi dan mengisolasi mereka.
Secara regulasi, mengingat beberapa bisa saja kehabisan masa visa dan paspor, negara-negara Barat untuk tidak memulangkan secara paksa.
"Kami sangat berharap bahwa semua keputusan masa depan tentang ilmuwan Rusia dan lembaga akademisi Rusia akan mencerminkan penilaian yang seimbang yang mempertimbangkan kemungkinan efektivitas tindakan yang sedang dipertimbangkan dalam menghukum atau menghalangi negara Rusia terhadap dampak merugikan yang tidak diinginkan pada kepentingan dan nilai-nilai Barat dan global," tutup Holdren dan rekan-rekan.
Source | : | Washington Post,New York Times,Science |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR