Menurut Sanjaya, masyarakat pemeluk Kaharingan mempercayai, bahwa makhluk-makhluk ilahi memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup memang muncul akibat perbuatan manusia itu sendiri, namun hal tersebut tidak luput dari campur tangan makhluk ilahi.
“wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan Kaharingan adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar pali (pantangan) dan melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara tiwah,” imbuhnya.
Pelestarian hutan oleh pemeluk Kaharingan berawal dari konsep Batang Garing yang diyakini oleh masyarakat sekitar. Batang Garing merupakan asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini. Kini, simbol Batang Garing dipahami oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia dengan alam dan keseimbangan hubungan antar manusia.
Fungsi hutan bagi masyarakat Dayak bukan sekadar sebagai pemenuhan hidup saja, namun juga sebagai warisan sumber daya alam bagi generasi kelak. Dalam bahasa Dayak Ngaju, mereka mengatakan: ingat peteh Tahu Hiang, petak danun akan kolunen harian andau (Ingat pesan leluhur, tanah air untuk kehidupan manusia yang akan datang).
Sanjaya menegaskan, maraknya pembangunan perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi sumber daya hutan dapat mengancam pahewan dan sepan. “kawasan-kawasan yang dilindungi secara adat oleh masyarakat ini dapat dikalahkan oleh pemanfaatan hutan untuk perkebunan atau pemanfaatan kayu oleh pengusaha HPH,” ungkap Sanjaya.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR