Nationalgeographic.co.id—"Saya jamin di seluruh Indonesia metode korbon pancang hanya ada di sini. Karena saya sudah keliling Indonesia untuk lihat metode-metode penanaman mangrove."
Pernyataan itu keluar dari mulut Dadan Mulyana. Dia ahli mangrove dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL IPB). Dadan bicara seperti itu saat National Geographic Indonesia berkunjung ke Desa Yensawai Barat, Pulau Batanta, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, Jumat pekan lalu.
Sebagai ahli mangrove, Dadan senang sekaligus terkejut karena bisa mendapatkan wawasan baru mengenai penanaman mangrove. Tak dinyana, seorang ahli mangrove dari pulau paling maju di Indonesia justru mendapatkan ilmu soal penanaman mangrove dari warga desa yang hidup di pulau kecil --pulau yang luasnya lebih kecil daripada luas Jakarta dan di sana cuma ada gedung sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), tak ada gedung sekolah menengah atas (SMA) apalagi universitas.
PKSPL IPB, lembaga tempat Dadan bekerja, adalah salah satu dari empat mitra kerja Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dalam menjalankan Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang - Inisiatif Segitiga Terumbu Karang atau Coral Reef Rehabilitation and Management Program - Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) di Raja Ampat. COREMAP-CTI adalah program konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat yang bergulir berkat dana hibah sebesar 6,2 juta dolar AS (setara Rp89 miliar) dari Global Environmental Facility (GEF) yang dikelola oleh Bank Dunia (World Bank).
Setelah tim sosial dari PKSPL IPB mendatangi dan menyurvei sejumlah kampung/desa di Kepulauan Raja Ampat, lembaga yang terafiliasi dengan kampus negeri di Bogor itu akhirnya memutuskan untuk mengimplementasikan program rehabilitasi mangrove, lamun, dan karang di Desa Yensawai Barat. "Ternyata desa ini lebih membutuhkan, punya sumber daya untuk rehabilitasi, dan sudah terbiasa menerima program dari instansi lain," tutur Dadan.
Secara alami ekosistem pesisir tropis memiliki mangrove di bagian paling belakang atau tepi dekat daratan. Lalu ada lamun di tengah dan kemudian ada koral atau karang di depan untuk mengahadapi pasang surut arus laut. Ini adalah habitat tempat banyak hewan laut hidup dan mencari makan.
Orang-orang Yensawai Barat menyebut tumbuhan lamun sebagai andoi dan mangrove sebagai mangi-mangi. Yang menarik, buah mangrove yang mereka sebut aiwon ternyata biasa mereka jadikan sebagai makanan pokok seperti nasi. "Mangrove ini bukan cuma menahan abrasi, tetapi juga untuk ketahanan pangan."
Rosita Infaindan (57), salah satu warga senior di Yensawai, mengatakan orang tuanya sejak dulu telah mengajarkan ia untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove. Sebab, buahnya bisa menjadi makanan, kayunya bisa menjadi material untuk membangun rumah, dan akarnya yang tumbuh kuat bisa menahan air laut agar tak menggerus pulau tempat tinggal mereka.
Sebelumnya pernah ada program-program menanam dan merehabilitasi mangrove di pesisir Yensawai. Tapi tidak pernah berhasil, kata Dadan. Propagul, buah mangrove yang telah mengalami perkecambahan dan dijadikan bibit, ketika ditancapkan di pesisir Yensawai pada akhirnya selalu hanyut terbawa arus.
"Dulu kami pelajari dan coba kami terapkan motode yang negara biasa pakai, namanya rumpun berjarak," jelas Dadan.
"Jadi kami menanam mangrove rapat sekali, polybag ketemu polybag. Itu dalam satu rumpun berisi 500 anakan mangrove. Nanti dikasih jarak dua meter lalu tanam lagi rumpun sejenis. Itu dicoba di sini dengan jenis-jenis mangrove Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR