Nationalgeographic.co.id—Keberadaan Bissu sebagai tokoh spiritual masyarakat suku Bugis, kini berada pada senjakala. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat keberadaan Bissu merupakan kearifan Bugis yang perlu dijaga dan dilestarikan.
LAPAR SULSEL (Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat Sulawesi Selatan) menggelar diskusi daring pada 29 Maret 2022, bertajuk “Senjakala Peran Bissu dalam Kebudayaan Bugis?” Narasumber dalam diskusi ini adalah Bissu Eka Segeri, Puang Matoa Bissu Ancu, Prof. DR. Hj. Nurhayati Rahman, MS, dan Dr. Syamsurijal Adh'ham, M. Si.
Seorang Bissu dari wilayah Sageri, Eka, bercerita bahwa perjalanan menjadi seorang Bissu saat ini bukanlah perkara mudah. Ketika masih menjadi calabai, perlu berbagai upaya agar dirinya dapat diterima di dalam lingkungan masyarakat dan keluarga.
Bissu Eka mengaku, bahwa dirinya sedih ketika melihat eksistensi Bissu yang kian tergeser. “Rasanya berat sekali untuk mempertahankan kebissuan di Segeri,” ungkap Bissu Eka.
Ia berpendapat, hal tersebut terjadi karena adanya pergeseran nilai –nilai kebudayaan dan adanya pengaruh-pengaruh dari kelompok agama tertentu. Mereka sering melabeli Bissu sebagai orang yang musyrik, menyalahi kodrat, dan nada-nada sumbang lainya. “tapi kita terus jalan apa adanya, dan sampai saat ini kami masih bertahan,” imbuhnya.
Jumlah Bissu di wilayah Sageri saat ini tersisa tiga orang. Apabila dilihat dari penduduk Segeri yang berjumlah lebih dari 20 ribu, ekistensi Bissu sangatlah miris. Terdapat beberapa penyebab yang menjadi biang atas krisisnya Bissu di daerah Sulawesi Selatan.
Ketua LTNNU Sulsel sekaligus peneliti BRIN, Syamsurijal, mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang membuat tergesernya Bissu di tanah kelahirannya sendiri. “Saat ini Bissu menghadapi permasalahan yang kompleks,” ujar Syamsurijal.
Dia juga mengatakan, eksistensi Bissu saat ini berada di dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, keberadaan Bissu dibutuhkan oleh masyarakat untuk tradisi-tradisi tertentu atau sebagai ajang pariwisata. Namun disisi lain, eksistensi Bissu dilucuti oleh sistem dan beberapa pihak lain, “ia dibutuhkan, tetapi sekaligus diabaikan,” imbuhnya.
Purifikasi Agama
Syamsurijal mengungkapkan, ada beberapa kelompok-kelompok agama yang menginginkan pemurnian agama. Berkembangnya kelompok-kelompok puritan ini juga menginginkan tersingkirnya Bissu dengan tuduhan kelompok sesat, musyrik, kafir, dan sebagainya.
“Ada cerita orang-orang tidak mau bertemu dengan Bissu, karena takut nanti salatnya tidak diterima selama 40 hari,” ujar Syamsurijal.
Seiring berkembangnya kelompok puritan dan masifnya penyebaran ajaran kelompok tersebut, membuat keberadaan Bissu semakin terpinggirkan. Secara kebudayaan, gerakan mereka berhasil mempengaruhi masyarakat, sehingga orang-orang Sulawesi Selatan semakin menjauhi budaya-budaya lokal mereka sendiri.
“Pada saat terjadi bencana gempa bumi di Palu, tidak sedikit orang yang menganggap ritual-ritual lokal sebagai biang keladinya.”
Syamsyurijal menyayangkan, acapkali kelompok-kelompok puritanisasi ini mendapatkan kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Tentu hal ini menjadi angin segar bagi kelompok tersebut, namun menjadi angin ribut bagi komunitas kebudayaan lokal.
Komersialisasi Bissu
“Mulanya Bissu adalah milik masyarakat Bugis,” ujar Syamsurijal. “Segala kebutuhan dan hajat hidupnya dipenuhi oleh seluruh masyarakat.”
Sayangnya, tradisi serupa sudah tidak berjalan kembali seperti sediakala. Seperti yang pernah dibahas oleh National Geographic Indonesia: Bissu: Kearifan Bugis Terbungkam, Kini Mendekam dalam Liminalitas.
Bergesernya nilai-nilai tradisi tersebut, memaksa Bissu untuk mencari jalan keluar agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu hal yang dilakukan adalah menjadi pelaku kesenian di panggung-panggung pertunjukan. “Ia dijadikan komoditi untuk dipertontonkan di mana-mana,” terang Syamsurijal
Hal tersebut menciptakan arena persaingan diantara para Bissu. Alhasil, bagi mereka yang tidak mampu memberikan suguhan terbaik, akan menjadi orang-orang kalah dan tersingkir. Hal ini kemudian membuat para Bissu yang kalah bersaing memilih untuk mencari profesi lain demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Baca Juga: Puang Matoa Saidi, Bissu yang Melegenda karena Mempertahankan Tradisi
Baca Juga: Bissu, Pendeta Agama Bugis Kuno yang Kian Terpinggirkan
Baca Juga: Menguak Kebudayaan Praaksara Sulawesi Selatan yang Terlupakan
Dalam keadaan seperti ini, seharusnya pemerintah hadir untuk memberikan bantuan kepada para Bissu yang mengalami kesulitan secara ekonomi. Menurut Syamsurijal, pemerintah sepertinya telah mengabaikan keberadaan Bissu sebagai komunitas lokal.
Keterpurukan ekonomi yang dialami oleh para Bissu, mengakibatkan terhambatnya generasi penerus Bissu. “Generasi muda enggan melirik, sebab mereka melihat bahwa tidak ada sesuatu yang didapatkan secara ekonomi, tidak ada yang bisa menjamin kehidupan mereka.”
Regenerasi Bissu
Proses penerimaan Bissu setidaknya dapat dibagi menjadi dua. Pertama, para calon Bissu biasanya mendapatkan panggilan melalui mimpi.
“Namun tidak hanya ia yang bermimpi, puang matoa, puang lolo dan beberapa Bissu lain juga mendapatkan mimpi tentang kehadiran Bissu baru,” ujar Bissu Eka.
Kemudian ada yang menjadi Bissu karena dititipkan oleh orang tuanya. Keinginan ini bukan semata-mata tanpa alasan, tetapi orang tua telah melihat bakat anaknya sejak kecil.
Sayangnya dewasa ini, ketertarikan anak muda untuk melestarikan tradisi Bissu telah pudar. Menurut Syamsurijal, perlu memikirkan strategi untuk membuat para generasi muda tertarik melanjutkan tradisi Bissu. Sebab bila tidak ada generasi penerus, artinya tradisi Bissu akan punah.
“Perlu direnungkan bagaimana proses regenerasi, apakah harus tetap mempertahankan cara-cara kuno untuk menarik generasi baru? Atau menggunakan cara-cara baru agar lebih menarik?” pungkas Syamsurijal.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR