Nationalgeographic.co.id—Adanya pelayaran asing ke perairan Sumatera dan pelabuhan Melaka, berisi para penumpang kapal yang muatannya dari Persia, Tiongkok maupun dunia Arab. Memunculkan hubungan antara Muslim dengan Sriwijaya.
"Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan Buddha, namun rakyatnya sudah mengenal toleransi dengan adanya hubungan dagang dengan pelaut dan pedagang muslim," sebut Bambang Budi Utomo, Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional.
Bambang menuturkan dalam Webinar: Kapal Nusantara dan Muatannya, yang diselenggarakan oleh Sahabat Cagar Budaya.
Antara Sriwijaya dengan dunia Islam nampaknya sudah terjalin, hal tersebut juga disebutkan oleh Bambang tentang adanya kontak raja-raja Sriwijaya dengan Khalifah Islam di Timur Tengah.
"Surat menyurat antara Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan Raja Sriwijaya, Sriwijaya sudah dipastikan beberapa rakyatnya telah menganut Islam, meskipun masih belum ditemukan adanya bukti arkeologis," sebutnya.
Surat menyurat antara sang khalifah kepada istana Sriwijaya diperkirakan terjadi pada abad ke-8, tatkala Umar bin Abdul Aziz bertahta sebagai khalifah Dinasti Umayyah.
Hubungan dari surat menyurat itu dilanjutkan dengan dimulainya kontak dagang, di mana para pedagang Arab mulai masuk ke Sriwijaya dan mendirikan pos dagang di sana. Sebagiannya, berpengaruh terhadap kemunculan Islam di Sriwijaya.
Harmonisnya, perniagaan Arab dengan Sriwijaya telah terjalin dengan baik, di mana masyarakat Sriwijaya yang mayoritas menganut ajaran Budha, telah menerima kehadiran orang-orang Islam.
Salah satu sumber yang menguatkan tentang hubungan antara Islam dengan Sriwijaya adalah penemuan jejak kapal dhow yang dikenal merupakan perahu yang digunakan bangsa Arab.
"Temuan tentang kapal dhow menjadi salah satu pencerahan di mana adanya hubungan yang mungkin terjadi antara para pelaut Arab dengan pelaut Nusantara, mungkin juga Sriwijaya," terangnya.
Meskipun, tidak dapat dipungkiri bahwa dhow lebih dikenal dibuat dari India, namun banyak juga sejarawan yang mengaitkannya dengan kapal yang dipakai orang-orang Arab ke Nusantara.
"Alat membuat perahu dhow hanya dimiliki oleh hutan-hutan India, dicari karena kualitas kayunya sangat kuat untuk menerjang kerasnya pelayaran samudera," lanjutnya.
Lebih masuk akal jika pembuatan dhow berasal dari India, karena lebih banyak bahannya ditemukan di hutan India, meskipun sejarawan mengarahkannya berasal dari Oman, Timur Tengah.
Bukti arkeologis Dhow ditemukan di perairan Belitung dengan muatan yang cukup banyak karena volume awaknya yang besar.
Baca Juga: Aturan-Aturan Laut dan Kebudayaan Bahari Masyarakat Sriwijaya
Baca Juga: Agama Sriwijaya dan Cikal Bakal Palembang di Bukit Siguntang
Baca Juga: Legenda Bajak-bajak Laut Sriwijaya yang Meraja di Selat Malaka
Baca Juga: Kisah Kejayaan dan Senja Kala Sriwijaya dalam Catatan Semasa
Selain itu, bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan masuknya kafilah dagang Muslim Arab ke pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas botol, jambangan, dan situs-situs di pantai Timur Jambi.
"Pada abad ke-7 M hingga abad ke-9 M, hubungan perdagangan Sriwijaya dengan pedagang Muslim sudah terjadi terutama dengan pedagang Arab," tulis Ahmad Berkah.
Ahmad Berkah menulisnya dalam jurnal Medina Te: Jurnal Studi Islam dalam jurnalnya yang berjudul Dampak Kekuasaan Maritim Sriwijaya Terhadap Masuknya Pedagang Muslim di Palembang Abad VII-IX Masehi, publikasi tahun 2017.
Nama Arab sering diceritakan oleh orang-orang Cina selama mereka berlabuh di Sriwijaya, sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K’uo yang biasanya juga disebut Arab.
Kehadiran orang-orang Ta-shih (Arab) di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai Barat Sumatera, dan pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu.
Selain itu juga mereka berdagang di pelabuhan-pelabuhan, pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang, sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan, diketahui sejak abad ke-7 M atau abad pertama Hijriah, mereka dikenal sebagai saudagar dan pelaut ulung.
Source | : | Sahabat Cagar Budaya (Palembang),Medina Te: Jurnal Studi Islam |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR