Nationalgeographic.co.id—Dalam setiap diskusi tentang perubahan iklim, energi terbarukan biasanya menempati urutan teratas dalam daftar perubahan yang dapat diterapkan dunia untuk mencegah efek terburuk dari kenaikan suhu. Sebab, sumber energi terbarukan seperti sinar matahari dan angin tidak mengeluarkan karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
National Geographic pernah mencatat, selama sekitar 150 tahun terakhir manusia sangat bergantung pada batu bara, minyak, dan bahan bakar fosil lainnya untuk menyalakan segala sesuatu. Mulai dari bola lampu, peralatan elektronik hingga alat transportasi. Bahan bakar fosil tertanam di hampir semua hal yang kita lakukan, dan sebagai hasilnya, gas rumah kaca yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar tersebut telah mencapai tingkat historis yang tinggi.
Saat gas rumah kaca memerangkap panas di atmosfer yang seharusnya bisa lepas ke luar angkasa, suhu rata-rata di permukaan bumi meningkat. Pemanasan global adalah salah satu gejala perubahan iklim, istilah yang sekarang lebih disukai para ilmuwan untuk menggambarkan perubahan kompleks yang memengaruhi sistem cuaca dan iklim planet kita. Perubahan iklim tidak hanya mencakup kenaikan suhu rata-rata, tetapi juga peristiwa cuaca ekstrem, pergeseran populasi dan habitat satwa liar, naiknya permukaan air laut, dan berbagai dampak lainnya.
Tentu saja, seperti sumber energi lainnya, energi terbarukan juga memiliki trade-off dan perdebatan terkaitnya sendiri. Salah satunya berpusat pada definisi energi terbarukan.
Sebenarnya, energi terbarukan adalah apa yang mungkin Anda pikirkan: selalu tersedia, atau seperti yang dikatakan oleh Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), "hampir tidak ada habisnya." Namun, "terbarukan" tidak selalu berarti berkelanjutan, seperti yang sering diperdebatkan oleh para penentang bendungan besar pembangkit listrik tenaga air.
Sebagai contoh, secara teoritis tenaga air merupakan sumber energi bersih yang diisi ulang oleh hujan dan salju. Namun pembangkit listrik tenaga air ini juga memiliki beberapa kelemahan.
Bendungan besar dapat mengganggu ekosistem sungai dan masyarakat sekitar, merugikan satwa liar, dan menggusur penduduk. Pembangkit listrik tenaga air juga rentan terhadap penumpukan lumpur. Bahkan, pembangkit listrik tenaga air dengan kapasitas penuh menanggung masalah emisinya sendiri karena bahan-bahan organik yang membusuk di reservoir melepaskan metana.
Namun, jika kita sepakat memandang pemanasan global dan perubahan iklim sebagai suatu masalah besar, pembangkit listrik tenaga air ini tetap merupakan pilihan yang lebih baik. Sebab, upaya pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahan bakar fosil lainnya juga tak lepas dari kontroversi lingkungan dan sosial, selain pastinya berkontribusi pada pemanasan global secara signifikan.
Selain itu, air bukanlah satu-satunya sumber energi terbarukan. Masih ada energi sinar matahari, angin, panas bumi, dan biomassa. Indonesia secara geografis dan kekayaan alam memiliki potensi besar untuk memanfaatkan semua sumber energi terbarukan itu.
Banyak negara di dunia secara progresif telah menggunakan dan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) setiap tahunnya. Indonesia juga telah memulai dan terus mengembangkan potensi penggunaan EBT ini. Yang dimaksud EBT adalah semua energi terbarukan yang dihasilkan melalui teknologi baru.
Badan Pusat Statistik mencatat, bauran EBT di Indonesia telah meningkat dari 4,4% pada 2015 menjadi 11,5% pada 2020. Lebih lanjut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa bauran EBT di Indonesia telah mencapai 12,77% per Agustus 2021. Meski terus bertambah, angka ini masih cukup kecil dan jauh dari target yang hendak dikejar.
Tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia memiliki target penggunaan EBT di bauran energi nasional sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050. Target ini setara dengan 45,2 gigawatt (GW) pembangkit listrik EBT di tahun 2025.
Penargetan ini bukanlah tanpa sebab. Indonesia merupakan salah satu dari 195 negara yang menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement) dan satu dari 164 negara ditambah Uni Eropa, yang meratifikasinya. Dengan komitmen internasional ini, Indonesia memiliki target nasional untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 29% dari kondisi business as usual di tahun 2030 dengan usaha sendiri dan lebih jauh 41% dengan bantuan internasional. Komitmen ini mensyaratkan Indonesia untuk konsisten mengembangkan energi terbarukan, terutama di sektor ketenagalistrikan.
Target penurunan emisi gas rumah kaca ini tidak hanya berhenti pada 29% atau 41%, tapi pada akhirnya akan mengejar 100% karena dunia menghendaki demikian. Penurunan emisi gas rumah kaca ini adalah bentuk upaya pengurangan jejak karbon dari segala aktivitas manusia. Upaya pengurangan jejak karbon ini pada akhirnya memang menargetkan karbon netral atau kondisi ketika emisi karbon yang diproduksi manusia terserap kembali oleh alam di bumi secara sepenuhnya sehingga tak menumpuk ke atmosfer.
Baca Juga: Pemanfaatan Limbah, Upaya Menyelamatkan Kehidupan Bumi dari Kehancuran
Baca Juga: Wahai Anak Muda, Indonesia Menanti Langkahmu untuk Netralitas Karbon
Indonesia butuh partisipasi dan inovasi banyak warganya dalam mengejar target ini. Ada banyak potensi sumber energi terbarukan di setiap daerah di Indonesia yang belum termanfaatkan dan butuh tangan-tangan Anda untuk memulainya guna menjaga kelangsungan hidup umat manusia di planet ini. Demi melindungi generasi kita dan anak-cucu kita dari parahnya dampak pemanasan global dan perubahan iklim bumi.
Penggunaan energi terbarukan ini hanyalah salah satu dari banyak usaha mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Hal lain yang penting adalah meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat, khususnya generasi muda, terhadap kelestarian lingkungan demi keberlanjutan kehidupan manusia di bumi.
Toyota Eco Youth kembali hadir untuk mencetak agen perubahan dan mengedukasi anak muda Indonesia sejak dini untuk berperan dalam upaya mencapai netralitas karbon. Dalam programnya yang ke-12 kali ini, Toyota Eco Youth mengusung tema "Ecozoomers"—sebutan untuk Gen-Z yang memiliki kepedulian dalam menyelamatkan lingkungan dengan memanfaatkan teknologi.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR