Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Jawa akrab dengan legenda tutur Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan. Beberapa daerah memiliki beberapa versi, namun memiliki esensi cerita yang sama. Dahulu, kisah ini tampil memasyarakat dalam lukisan, kesenian ketoprak sampai dongeng pengantar tidur anak. Judul Jaka Tarub dan Tujuh Bidadari juga pernah tampil dalam film layar perak dan serial sinema layar kaca Indonesia.
Babad Tanah Jawi pun mencatat kisah ini. Sepenggal ceritanya, seorang pemuda bernama Jaka dari desa Tarub sedang berburu di hutan. Jaka mengintip para bidadari yang sedang mandi di sendang. Dia terpikat dengan kecantikan para bidadari. Sambil mengendap-endap, Jaka mencuri busana salah satu bidadari.
Ketika para bidadari mengetahui ada lelaki di sendang, mereka segera mengangkasa. Namun, salah satu bidadari yang bernama Dewi Nawang Wulan tak kuasa mengangkasa karena busananya hilang. Jaka berkata kepadanya, apabila dia bersedia menjadi istrinya, busana itu akan dikembalikan. Sang Dewi terpaksa menyetujuinya. Akhirnya mereka menikah dan dikarunia seorang anak.
Taruban, toponimi desa yang berkait dengan kisah Jaka Tarub, berlokasi di Sentolo, Kulonprogo, sekitar 23 kilometer di barat laut Yogyakarta. Warga desanya merawat legenda itu sebagai pesan leluhur.
Mereka memuliakan pesan itu dalam medium yang bisa diraba: Pertama, makam Jaka Tarub-Nawang Wulan. Kedua, Wit Sambi yang merupakan pohon besar keramat. Ketiga, sumber air atau sendang Kamulyan, berikut dengan upacara bersih desa dan ziarah.
Gabungan dari tiga hal itu merupakan upaya warga Taruban melestarikan nilai-nilai leluhur atau kearifan yang memuliakan alam. Hasilnya, terpeliharanya pohon-pohon besar dan terjaganya sumber air.
"Menurut orang desa Taruban, [Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan] benar ada dan dianggap leluhur," kata Ida Fitri Astuti.
Ia merupakan staf dan peneliti Indonesian Consortium for Religious Studies di Yogyakarta, yang berkesempatan mengungkap bagaimana legenda Jaka Tarub berkait dengan keberadaan situs makam, pohon dan sendang keramat di Desa Taruban. Penelitiannya bertajuk "Villagers of Taruban Preserve the Environment through Myths and Rituals" yang tersurat dalam prosiding 6th International Graduate Students and Scholars' Conference in Indonesia. Penyelenggaranya, Sekolah Pascasarjana Multidisiplin, Universitas Gadjah Mada pada 2014.
Ida menunjukkan bahwa warga terlibat dalam hubungan “antar-pribadi” dengan situs-situs sakral di desa mereka—pohon, makam, dan sendang. "Orang-orang mengenali dan memandang pohon sebagai 'orang atau sosok' yang memiliki kemampuan untuk merawat, menerima, dan memberi," ungkapnya. "Hubungan mereka, antara pohon dan penduduk desa, mengikuti persepsi penduduk desa, saling menguntungkan dan bertanggung jawab."
Legenda adalah abstrak, ungkapnya, namun warga membendakan dalam bentuk makam atau petilasan. Inilah yang menjadi medium penghubung antara penduduk dengan leluhurnya, yakni Jaka Tarub dan Nawang Wulan. Selain itu legenda juga "ditubuhkan" dalam bentuk ritual—baik yang dilakukan oleh tubuh secara personal seperti merapalkan doa, ritual komunal seperti bersih desa, maupun ritual aturan dalam menebang pohon.
Berkait perspektif ekologi, "warga desa Taruban sangat akrab dengan lingkungannya," Ida mengungkapkan. "Mereka terlibat dalam ikatan ganda yang memberikan hak istimewa untuk memanfaatkan dan menghormatinya."
Warga mengenal pohon-pohon besar sebagai sosok, yang memiliki keterkaitan—saling mengambil dan memberi. Mereka melakukan ritual demi menjaga hubungan harmoni itu. Kendati musim kemarau yang kering, sendang tetap terjaga alirannya. "Pohon, makam dan sendang itu sebagai person atau sebagai orang yang bisa memberikan sesuatu kepada kita," ujarnya.
"Mereka dilarang menebang pohon dan melakukan tindakan yang merugikan kehidupan pohon," ungkap Ida tentang aturan yang lahir dari legenda atau mitos di Taruban. "Dalam hal ini, sangat jelas terlihat bahwa masyarakat desa Taruban memiliki persepsi ekologis."
Warga menghormati dan memelihara ketiga situs sakral itu dengan rangkaian ritual komunal setiap tahun. Salah satunya, bersih desa yang digelar setelah panen setiap tahun. Ketika itu warga bersama-sama berkumpul merapal doa yang mengiringi sesajen, juga menari tayuban. Setiap Kamis malam dan malam Tahun Baru Islam, warga juga memuliakan ketiga situs itu dengan merapalkan doa, menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesaji beragam puspa, yakni kembang telon—mawar, melati, dan kantil.
"Ritual dan legenda dilestarikan secara lisan dari generasi ke generasi," Ida mengungkapkan. Namun, dia menambahkan, tradisi ini dan juga yang serupa di berbagai tempat, sering ditanggapi oleh umat beragama sebagai praktik sesat atau menyesatkan.
Ritual di Taruban masih hidup sampai sekarang karena mitos yang terpelihara dengan baik secara lisan. Kearifan ini diperlukan sebagai benteng terakhir warga untuk melindungi dan menghindari dampak buruk pembangunan pada desa mereka. "Ritual ini berdampak positif terhadap lingkungan dan itu menjawab tantangan yang sedang dihadapi oleh Kulonprogo," ujar Ida. "Bisa jadi ritual ini menjawab tantangan terbukanya lahan untuk industri."
"Bayangkan apabila tidak ada mitos, tidak ada makam, tidak ada ritual bersih desa? Apakah masih bisa pohon-pohon besar terpelihara, sumber air terjaga?" ujar Ida beretorika. "Nah, ini signifikansi dari mitos dan legenda yang dipelihara."
Baca Juga: Kearifan Warga dalam Memuliakan Dua Sendang Keramat di Salatiga
Baca Juga: Kisah Kepala Kerbau Sebagai Sesajen Stasiun Jakarta Kota 'BEOS'
Baca Juga: Upacara 1.000 Sesajen dan Dupa: Wujud Toleransi Masyarakat Indonesia
Baca Juga: Bissu: Kearifan Bugis Terbungkam, Kini Mendekam dalam Liminalitas
Ida menyadari bahwa masyarakat kita memiliki pandangan beragam tentang ritual tradisi ini. "Kita harus menerangkan bahwa ritual itu masuk akal. Kita bisa menerangkan bahwa mitos ini diturunkan menjadi benda, menjadi ritual, kemudian menjadi aturan, yang kemudian berdampak positif kepada lingkungan," ujar Ida. "Kita harus menyesuaikan dengan alam pikir manusia sekarang yang cenderung sekuler dan membuat itu rasional bagi mereka."
Sejatinya, penelitiannya merupakan pembelaan bagi tradisi leluhur yang belakangan ini dianggap menyekutukan tuhan dan dianggap sesat. "Kita sering menyebut tradisi itu sebagai kejawen," ujarnya. "Padahal orang muslim Jawa selain melakukan ritual atau ibadah sesuai ajaran Islam, tetapi juga tidak meninggalkan ajaran-ajaran Jawa."
Dia mengutip pemikiran filsuf Prancis bernama Roland Barthes (1915-1980), "Mitos adalah jenis tuturan untuk melestarikan nilai-nilai yang terbungkus dalam legenda dan cerita." Ida menambahkan, "Inilah yang terjadi di Desa Taruban, mitos tentang pohon besar dan nenek moyang masih dilestarikan untuk mewariskan nilai-nilai."
Apakah kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan benar-benar nyata atau rekaan belaka? Bagi warga sosok itu hadir dalam semangat keseharian mereka dalam menjaga lingkungan. Namun, satu perkara yang pasti, kisah dalam legenda sejatinya merupakan jenis ujaran yang mengandung pesan moral cerita—kebenaran tertinggi dari kata-kata.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR