Nationalgeographic.co.id—Superbug adalah jenis bakteri yang kebal terhadap beberapa antibiotik. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), bakteri superbug menginfeksi lebih dari dua juta manusia setiap tahunnya di seluruh dunia.
Baru-baru ini, para ilmuwan telah menemukan adanya versi lebih berbahaya dari superbug yang dapat menyebar dari babi ke manusia. Temuan ini membuat mereka khawatir bahwa penggunaan antiobiotik secara intensif di pertenakan bisa membawa penyebaran mikroba yang kebal antibiotik itu.
Penemuan ini diugnkap oleh Semeh Bejaoui dan Dorte Frees dari University of Copenhagen and Statens Serum Institute di Denmark. Mereka menyebut, superbug itu adalah Clostridioides difficile yang dianggap sebagai salah satu ancaman resistensi antibiotik utama di dunia.
"Temuan kami menunjukkan bahwa C. difficile adalah reservoir gen resistensi antimikroba yang dapat berpindah antara hewan dan manusia," terang Bejaoui di dalam presentasinya dalam European Congress of Clinical Microbiology & Infectious Diseases pada hari Minggu, 24 April 2022, di Lisbon, Portugal.
"Penemuan yang mengkhawatirkan ini menunjukkan bahwa resistensi terhadap antibiotik dapat menyebar lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya, dan menegaskan hubungan dalam rantai resistensi yang mengarah dari hewan ternak ke manusia," lanjutnya.
Sebelumnya, para dokter dan ilmuwan telah memperingatkan bahwa menjadikan antibiotik sebagai resep secara berlebihan untuk keluhan-keluhan sepele, atau infeksi yang disebabkan oleh virus dapat menyebabkan penyebaran resistensi terhadap kelas obat yang penting.
Menyadur dari The Guardian, C. difficile mengifeksi usus manusia dan resisten kecuali terhadap tiga antibiotik yang digunakan saat ini. Beberapa strain mengandung gen yang membuat mereka mampu menghasilkan racun. Racunnya dapat memicu radang usus dan diare yang mengancam jiwa orang tua dan pasien rumah sakit, terutama di negara-negara maju.
"Yang menjadi perhatian khusus adalah reservoir besar gen yang memberikan resistensi terhadap aminoglikosida, kelas antibiotik yang secara intrinsik resisten terhadap C difficile. Dengan demikian memainkan peran dalam menyebarkan gen ini ke spesies rentan lainnya," ungkap Bejaoui.
"Studi ini memberikan lebih banyak bukti tentang tekanan evolusi yang terkait dengan penggunaan antimikroba dalam peternakan, yang memilih patogen manusia yang resisten dan berbahaya."
Baca Juga: Ilmuwan Identifikasi Antibiotik Baru dari Spesies Langka Bakteri Tanah
Baca Juga: Teknologi Nano Bantu Optimalkan Bakteri Ini Hasilkan Listrik
Baca Juga: Mengerikan! MRSA Ada Pada Landak Jauh Sebelum Penemuan Antibiotik
Christopher Murray seorang profesor di University of Washington tergabung dalam kelompok penelitian Antimicrobial Resistance Collaborators (ARC). Penelitian itu dipublikasikan di jurnal The Lancet pada Februari 2022 yang menegaskan perkembangan bakteri yang mampu melawan antibiotik yang ditemukan pada 2019.
"Ini masalah besar," ujarnya dalam siniar University of Chicago. "Saya akan mengatakan bahwa dari titik ketika ada penggunaan antibiotik secara luas, menjadi jelas bahwa beberapa bakteri dapat mengembangkan resistensi."
"Ini adalah evolusi klasik peperangan. Ada antibiotik, bisa membunuh dan menyerang bakteri, berkembang atau bermutasi menjadi resisten, lalu antibiotik itu tidak berfungsi lagi, lalu kita harus mencari antibiotik lain atau modifikasi agar bisa mengatasi pola resistensi itu."
Masalah itu makin diperparah dengan meluasnya penggunaan antibiotik pada hewan ternak. Paling sering adalah babi dan unggas, tetapi kadang-kadang juga sapi, sehingga memudahkan penyakit menyebar keluar spesies mereka.
Akibat aktivitas ini, ada peningkatan pesat dalam resistensi antimikroba di seluruh dunia, terang para ilmuwan. Antibiotik yang dulu efektif menjadi kurang mampu melawan infeksi umum, sehingga dapat berbahaya bagi kesehatan global.
"Resistensi antimikroba sedang meningkat di Eropa dan di tempat lain di dunia," kata Margaret Chan, mantan direktur jenderal WHO. "Kami kehilangan antimikroba lini pertama kami. Perawatan pengganti lebih mahal, lebih beracun, membutuhkan durasi perawatan yang lebih lama, dan mungkin memerlukan perawatan di uni perawatan intensif."
Penelitian terbaru juga memperkirakan akan ada sekitar 750.000 orang yang akan meninggal setiap tahunnya akibat infeksi yang resisten. IUCN mengkhawatirkan, jumlah ini bisa mencapai 10 juta orang dan menelan biaya lebih dari 100 dolar AS untuk kesehatan global.
Source | : | University of Chicago Medical Center,The Guardian |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR