Baca Juga: Merapah Rempah: Sejumput Cengkih Maluku di Rumah Tuan Puzurum
Usaha minyak kacang banyak ditemukan sekitar Batavia dan kota-kota di pesisir Jawa, yang menurut van der Aa, menghasilkan bau tengik. Pada zaman itu, minyak kacang banyak digunakan untuk keperluan masak-memasak seperti penggunaan minyak sawit saat ini.
Fadly mengatakan, minyak kacang begitu laku pada masanya. “Dan yang mengusahakan ini adalah orang-orang Tionghoa. Dipasarkan di pasar-pasar lokal dan banyak dibeli atau dikonsumsi oleh orangorang pribumi dan juga orang-orang Eropa. Jadi, mata rantai produksinya ini sekali lagi memang nggak bisa dipisahkan dari orang-orang Tionghoa.”
Minyak kacang pada awal abad ke-19 hadir sebagai satu dari syarat sesajen manten yang bernama sajen majang patanen, yakni kewajiban membawa dua botol minyak kacang. Sementara untuk sajen ruwatan cukup satu botol penuh minyak kacang.
“Jadi minyak kacang sudah menjadi industri yang besar di abad ke-18 sampai ke-19. Bahkan, tahun 1930 di Majalah Kejawen orang Jawa masih mengenal minyak kacang untuk masak. Boleh tumis, boleh goreng,” tutur Ary. Selain diolah menjadi minyak, sejak zaman kolonial kacang tanah juga sudah biasa diolah menjadi saus kacang untuk berbagai sajian makanan seperti pecel, gado-gado, dan sate.
Penggunaan olahan saus kacang masih bertahan hingga kini. Minyak kacang—dan minyak kelapa— berangsur keok karena kelapa sawit bisa dipanen lebih cepat dan diproduksi lebih murah oleh para konglomerat, meski perkebunan sawit merusak hutan kita. “Kini kita dijajah oleh sawit,” pungkas Ary.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR