Jalur rempah mempertemukan Nusantara dengan gurihnya kacang tanah. Siapa yang membawanya?
Nationalgeographic.co.id—Naskah tertua yang mencatat keberadaan kacang tanah di Indonesia adalah adikarya seorang buta yang tak pernah melihat hasil akhir karya itu. Pria itu bernama Georg Eberhard Rumpf. Kelak, dia lebih dikenal dengan nama Latinnya, Georgius Everhardus Rumphius.
Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon yang dia tulis, baru diterbitkan pada 1741, berselang 39 tahun sejak dia wafat. Adikarya itu terbit dalam enam volume, 1.660 halaman, hampir 700 gambar dan perian sekitar 1.200 jenis tumbuhan.
Rumphius mengerjakannya sejak tiba di Ambon pada 1653. Pada awalnya penglihatannya masih normal. Namun, pada 1670 penyakit glaukoma membuat kedua matanya menjadi buta total. Ketika itu usianya masih 43 tahun. Musibah ini disusul dengan meninggalnya putri dan istrinya. Sang istri berasal dari Ambon, yang bernama Susanna, membantunya menulis buku itu. Kedua anggota keluarga Rumphius itu meninggal akibat gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang melanda Ambon pada 1674.
Rumphius merampungkan manuskrip Herbarium Amboinense pada akhir 1690. Dia mendapat banyak bantuan mata dan tangan orang lain, termasuk putranya yang bernama Paulus Augustus. Karena kegigihannya dalam meneliti dan mencatat flora di Maluku, Rumphius dijuluki sebagai “si buta yang bisa melihat dari Ambon.”
Riwayat perjalanan naskahnya juga sangat dramatis. Mula- mula naskah itu dikirim dari Ambon ke Batavia pada 1690, lalu diteruskan ke Belanda untuk diterbitkan di sana. Mengingat perjalanan sangat jauh dan penuh risiko, Gubernur Jenderal Camphuys segera memerintahkan pembuatan salinan untuk ditinggalkan di Batavia.
Benar saja, naskah asli yang dibawa kapal Waterland tak pernah sampai ke Belanda. Di tengah pelayaran, kapal itu dihadang pertempuran laut dengan Prancis pada 12 September 1692. Kapal itu tenggelam beserta seluruh isinya. Barulah pada 8 Februari 1696, naskah salinannya dikirim dengan kapal Sir Janslandt. Akhirnya, naskah itu tiba di Belanda.
Namun, Heeren Zeventien atau Dewan Tujuh Belas, para penentu kebijakan VOC di sana, tidak segera menyetujui penerbitan naskah itu. Salah satu pertimbangannya, naskah itu berisi hal-hal sensitif terkait perdagangan mereka. Hampir 40 tahun setelah kematian Rumphius barulah naskah itu disetujui untuk diterbitkan.
Dia menyebutkan banyak tanaman, termasuk kacang tanah yang tumbuh subur di Maluku. “Jadi Rumphius waktu dia keliling-keliling di Indonesia timur, daerah Sulawesi, Ambon, Ternate, Tidore, dan lan-lain, dia sudah menjumpai itu kacang di akhir abad ke-17, menjelang abad ke-18,” ujar Ary Budiyanto, antropolog sekaligus peneliti kuliner dari Universitas Brawijaya. “Dan Rumphius juga bilang bahwa di abad yang sama kacang sudah banyak ditemukan di Batavia dan dibawa oleh orang-orang Cina,” tambahnya.
Fadly Rahman, sejarawan makanan dari Universitas Padjajaran, juga mengatakan bahwa kacang tanah sudah mulai dibudidayakan di Batavia dan pesisir Jawa pada abad ke-17, terutama oleh orang-orang Cina. “Sehingga tidak heran kalau di kalangan masyarakat pribumi menyebut kacang tanah ini sebagai ‘kacang cina’ di masa-masa itu,” tuturnya. “Karena memang diusahakan, dibudidayakan, hingga diperdagangkan oleh orangorang Tionghoa di pasar-pasar.”
Kacang tanah, atau Arachis hypogaea, adalah tanaman asli dari Amerika Selatan. Tanaman ini diyakini tersebar ke seluruh dunia berkat kegigihan para pelaut-pedagang Portugis, Spanyol, dan Tiongkok. Tumbuhnya benih-benih kacang tanah di Nusantara berkat para pedagang Tiongkok yang membawanya lewat Jalur Rempah Nusantara.
“Orang-orang Portugis ini membawa kacang tanah ke Cina dan kemudian orang-orang Cina membawa ke Indonesia. Jadi ada beberapa teori yang menyinggung sirkulasi [kacang tanah] dari para agensi atau pelaut dari Portugis, Spanyol, dan Cina,” ujar Fadly.
Pendek kata, Jalur Rempah Nusantara tak hanya berperan memperkenalkan rempah-rempah asal Indonesia ke seluruh dunia, tetapi juga membawa komoditas dunia ke Nusantara. Salah satunya kacang tanah yang dalam catatan kuno Cina abad ke-16 disebut sebagai huā shēng. Kata ini merupakan kependekan dari luòhuāshēng, yang secara harfiah berarti “benih lahir dari bunga yang jatuh ke tanah”.
Menurut catatan Rumphius, kacang tanah juga memiliki ragam nama sebutan. Di Brasilia, kacang dikenal dengan nama mundubi. Orang Peru menyebutnya lerio manobi, sementara orang Spanyol menyebutnya ibimani.
Fadly mengungkapkan bahwa Jan Hooyman—dalam laporannya yang diterbitkan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada akhir abad ke-18—mencatat bahwa sekitar 1.200 sampai 1.300 orang Cina diangkut dalam jung-jung yang datang berniaga ke Batavia setiap tahunnya. Ketekunan dan tenaga mereka begitu penting dimanfaatkan orang Belanda untuk mengerjakan lahan pertanian.
Sebagaimana yang disaksikan Hooyman, berkat andil orang-orang Cina, ladang tebu dan kacang tanah bisa tumbuh di pinggiran Batavia.
Abraham Jacob van der Aa dalam buku Nederlands Oost-Indië of Beschrijving der Nederlandsche bezittingen in Oost-Indië menguraikan bahwa orangorang Cina dan Jawa pada abad ke-19, paling sering memanfaatkan kacang untuk diambil minyaknya.
Cara pembuatannya, dia menguraikan, kacang dicuci bersih dan dikeringkan sebentar, lalu dipipil dan dikeringkan lagi. Setelah cukup kering, kacang diuapi dan dipres untuk diambil minyaknya.
Baca Juga: Lelakon Rumphius di Ambon: Kebutaan, Korban Gempa, Sampai Kebakaran
Baca Juga: Ketika Setengah Kilogram Pala Banda Dibeli Seharga Tujuh Sapi Gemuk
Baca Juga: Merapah Rempah: Cerita Bahtera-bahtera Kuno di Dasar Samudra Kita
Baca Juga: Merapah Rempah: Sejumput Cengkih Maluku di Rumah Tuan Puzurum
Usaha minyak kacang banyak ditemukan sekitar Batavia dan kota-kota di pesisir Jawa, yang menurut van der Aa, menghasilkan bau tengik. Pada zaman itu, minyak kacang banyak digunakan untuk keperluan masak-memasak seperti penggunaan minyak sawit saat ini.
Fadly mengatakan, minyak kacang begitu laku pada masanya. “Dan yang mengusahakan ini adalah orang-orang Tionghoa. Dipasarkan di pasar-pasar lokal dan banyak dibeli atau dikonsumsi oleh orangorang pribumi dan juga orang-orang Eropa. Jadi, mata rantai produksinya ini sekali lagi memang nggak bisa dipisahkan dari orang-orang Tionghoa.”
Minyak kacang pada awal abad ke-19 hadir sebagai satu dari syarat sesajen manten yang bernama sajen majang patanen, yakni kewajiban membawa dua botol minyak kacang. Sementara untuk sajen ruwatan cukup satu botol penuh minyak kacang.
“Jadi minyak kacang sudah menjadi industri yang besar di abad ke-18 sampai ke-19. Bahkan, tahun 1930 di Majalah Kejawen orang Jawa masih mengenal minyak kacang untuk masak. Boleh tumis, boleh goreng,” tutur Ary. Selain diolah menjadi minyak, sejak zaman kolonial kacang tanah juga sudah biasa diolah menjadi saus kacang untuk berbagai sajian makanan seperti pecel, gado-gado, dan sate.
Penggunaan olahan saus kacang masih bertahan hingga kini. Minyak kacang—dan minyak kelapa— berangsur keok karena kelapa sawit bisa dipanen lebih cepat dan diproduksi lebih murah oleh para konglomerat, meski perkebunan sawit merusak hutan kita. “Kini kita dijajah oleh sawit,” pungkas Ary.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR