Nationalgeographic.co.id—Saat ini kita melihat Stonehenge di Inggris sebagai situs batuan yang dikelilingi oleh hamparan tanah berumput. Namun sekitar 10.000 tahun yang lalu, lanskap tersebut memiliki lubang-lubang yang kemungkinan digali oleh para pemburu prasejarah yang mencoba menjebak hewan-hewan buruan.
Sebuah tim peneliti dalam studi baru mereka menemukan bukti lubang-lubang ini saat mensurvei daerah di sekitar Stonehenge. Temuan ini telah mereka laporkan dalam makalah studi yang dipublikasikan secara online pada 9 Mei 2022 di Journal of Archaeological Science.
Dalam studi ini, tim peneliti melakukan survei medan induksi elektromagnetik di area seluas sekitar 2,5 kilometer persegi di sekitar Stonehenge. Mereka menggunakan algoritma untuk mendeteksi anomali yang mungkin ada di area tersebut.
Selama jenis survei ini, para peneliti membawa sejumlah peralatan seperti tongkat yang memiliki kumparan elektromagnetik di kedua ujungnya. Satu kumparan menghasilkan medan elektromagnetik, yang memungkinkan perangkat untuk menganalisis konduktivitas listrik tanah. Perubahan dalam konduktivitas listrik dapat berarti bahwa tinggalan arkeologi yang hadir.
Algoritma tersebut mengidentifikasi 415 lubang besar potensial yang berdiameter lebih besar dari 2,4 meter. Selain itu, ada juga 3.000 lubang kecil yang diameterrnya kurang dari 2,4 meter, papar Philippe De Smedt, seorang profesor lingkungan di Gent University di Belgia yang menjadi penulis utama dalam studi ini.
Kapan semua lubang ini dibuat belum bisa dipastikan. Namun Tim peneliti telah menggali sembilan lubang besar dan menemukan bahwa enam di antaranya dibuat oleh manusia pada zaman prasejarah.
Para peneliti bisa tahu kalau itu dibuat oleh manusia berdasarkan artefak-artefak yang ditemukan di dalamnya dan bentuk lubang-lubangnya. Lubang galian tertua berusia sekitar 10.000 tahun dan berisi sisa-sisa peralatan batu yang mungkin digunakan untuk berburu.
Temuan "menunjukkan itu [lubang] mungkin digali sebagai perangkap berburu untuk hewan buruan besar seperti aurochs [spesies ternak yang sekarang sudah punah], rusa merah dan babi hutan," kata De Smedt seperti dikutip dari Live Science.
Salah satu lubang lainnya berasal dari 3.300 tahun yang lalu, beberapa saat setelah Stonehenge didirikan. Lubang itu mungkin "sangat terkait dengan penataan seremonial jangka panjang dari lanskap Stonehenge tersebut," De kata Smed.
Selain itu, dua lubang lainnya, mungkin juga dibangun untuk tujuan seremonial, berusia sekitar 5.500 tahun yang lalu dan 5.200 tahun. Periode ini tidak lama sebelum Stonehenge dibangun, kata De Smedt.
Baca Juga: Kotoran Prasejarah Ini Mengungkap Parasit dari Pesta di Stonehenge
Baca Juga: Stonehenge adalah Daerah Perburuan Penting sebelum Monumen Dibangun
Baca Juga: Selidik Stonehenge, Benarkah Dirancang Sebagai Sistem Kalender Kuno?
Baca Juga: Selidik 4 Ukiran Kuno Berusia 5.000 Tahun di Stonehenge Inggris
Sampai saat ini tidaklah jelas mengapa orang-orang prasejarah membangun Stonehenge. Namun ada beberapa gagasan terkait hal ini, termasuk bahwa monumen itu berfungsi sebagai tempat berburu yang suci, tempat berkumpulnya komunitas, kalender astronomi, struktur untuk penguatan suara, kuburan atau bahkan suaka bagi penyembuhan kuno.
Lubang-lubang itu adalah "penemuan menarik," ujar Timothy Darvill, seorang profesor arkeologi di Bournemouth University di Inggris, yang telah melakukan penggalian sebelumnya di situs tersebut tetapi tidak terlibat dalam studi baru ini.
"Survei geofisika masih memiliki banyak hal untuk diungkapkan di lanskap Stonehenge, [tetapi] kita harus melakukan apa yang telah dilakukan tim ini dan memeriksa lapangan semua anomali yang menarik sebelum membuat interpretasinya," kata Darvill.
Darvill menambahkan bahwa "fitur-fitur penanggalan radiokarbon yang ditemukan melalui geofisika akan menambah detail pada gambar dan memungkinkan temuan ditempatkan dengan benar dalam urutan aktivitas yang panjang dan rumit di lanskap Stonehenge tersebut."
Source | : | Live Science,Journal of Archaeological Science: Reports publikasi ELSEVIE |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR