Nationalgeographic.co.id—Bagi masyarakat generasi masa kini, siapa yang tidak mengenal komedian seperti Nunung, Tessy, dan Tukul Arwana? Mereka bertiga sempat tergabung dalam grup lawak Srimulat yang ikonis di Indonesia.
Bagaimana grup ini bisa begitu fenomenalnya di ranah hiburan Indonesia? Ahmad Faisal Choril Anam Fathoni dan Ade Ariyani Sari Fajarwati dari School of Design di Universitas Bina Nusantara Jakarta, membedah sepak terjang dan karakter khas pada Srimulat. Pemaparan itu mereka terbitkan di Jurnal Urban pada September 2021.
Usaha membangun Srimulat menjadi populer berkat Teguh Slamet Rahardjo (Kho Tjien Tiong) dan istrinya R.A Srimulat pada 8 Agustus 1950. Perjalanan kelompok lawak ini mengalami puluhan perubahan anggota dan format pertunjukan, bahkan lokasinya.
"Dalam perjalanan Srimulat untuk sampai pada titik puncak kesuksesannya di dunia pertunjukan komedi, Teguh--sebagai konseptor utama Srimulat, selalu menysaratkan para anggotanya agar masing-masing mempunyai ciri khas yang dapat membedakan mereka dengan pelawak yang lain," tulis Ahmad dan Ade.
Pementasan mereka berawal pada acara Gema Malam Srimulat. Saat itu, R.A Srimulat menjadi primadona musik keroncong, dan grup itu berkonsep model Dagelan Mataram. Personelnya saat itu Wadino Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni.
Pada pertengahan dekade 1950-an, kelompok ini mulai mendulang penggemar sejak pentas di Surakarta, walau mulai ditinggalkan sebagaian anggotanya.
"Salah satu faktor yang membaut Srimulat menjadi lebih dikenal dan diminati adalah karena terjadinyua perubahan konsep pertunjukan, yaitu dari konsep Dagelan Mataram menjadi pertunjukan dengan beberapa anggota kunci, seperti Amang Gunawan, Maleha, dan Bandempo," jelas Ahmad dan Ade.
Antusiasme penonton terhadap Srimulat berkembang lebih pesat lagi dalam formasi barunya. Terutama, pada Mei 1961, mereka pentas di Surabaya di Taman Hiburan Rakyat Surabaya Grup (THR-SG).
Sejak itulah, Srimulat juga mulai membuka cabang di beberapa kota lain, termasuk Jakarta dan Semarang. Singkatnya, mereka menghadapi pasang-surut laju dunia pertunjukan yang membuatnya makin terkenal.
Mereka juga menghadirkan pertunjukan musik mulai dari keroncong, langgam Jawa, hingga jazz.
Kelekatan mereka dengan masyarakat pun tertera dengan referensi yang digunakan, khususnya oleh Teguh yang gemar menyaksikan kesenian tradisional seperti ketoprak dan wayang.
"Teguh kembali menghadirkan konsep pertunjukan yang berbeda dari sebelumnya, yaitu dengan tajuk acara 'Malam Atraksi Srimulat'. Salah satu konsep yang diusung pada acara ini adalah pertunjukan panggung sandiwara komedi dengan balutan parido film atau kisah yang terkenal pada masa itu," terang Ahmad dan Ade.
"Ada satu fakta menarik ketika kita telisik lebih jauh mengenai grup Srimulat, yaitu meskipun hadir dengan identitas kebudayaan lokal, namun pada kenyataannya Srimulat tetap bisa diterima dengan baik oleh masyarakat di kota-kota besar," lanjut mereka.
Hal itu disebabkan adanya arus urbanisasi ke Jakarta dan Surabaya. Urbanisasi ini membuat masyarakat etnis Jawa mencari hiburan rakyat yang mengusung kebudayaan daerah asalnya. Kepopuleran Srimulat membuat mereka pun hadir di tayangan televisi dan melegenda.
Baca Juga: Serial Komedi yang Populer Karena Pemerannya Presiden Ukraina
Baca Juga: Lelucon Senonoh Sudah Ada Sejak Zaman Romawi Kuno, Ini Buktinya
Baca Juga: Mengulik Sejarah 'April Mop', Siapa yang Memulai Tradisi Ini?
Baca Juga: Semua Tawa Terdengar Mengganggu? Mungkin Anda Menderita Fobia Ini
Untuk menimbulkan humor, menurut Teguh, tidak bisa terjadi begitu saja. Seorang komedian harus mampu menemukan sesuatu yang terkesan "aneh" untuk menimbulkan humor yang lucu.
Akibatnya, gelagat "aneh" yang jadi ciri khas komedian dalam grup Srimulat jadi terekam dalam memori penonton, mulai dari pentas panggung, rekaman kaset, sampai siaran televisi.
Ahmad dan Ade menjelaskan, Srimulat kerap menggunakan berbagai mekanisme humor. Pertama, kelompok lawak ini membuat kondensasi lewat susunan kata atau kata diubah-disesuaikan, seperti dalam dialog berikut:
Tarsan: "Pak Asmuni. Apa kabar?"
Asmuni: "Alhamdulillah, sehat wal-Accord!"
Tarsan: "Kok Accord?"
Asmuni: "Fiat-nya sudah saya jual!"
Berikutnya, Srimulat menampilkan teknik repetisi atau pengulangan dengan cara penyampaian berbeda sebagai lelucon. Seperti dalam adegan Nunung enggan bertemu Pak Lurah karena sedang berpakaian jelek, lalu Gepeng menimpalinya dengan "Enggak usah malu. Saya pakai muka jelek saja enggak malu, kok."
Terakhir, mereka menerapkan teknik humor bermakna ganda, di mana "lelucon yang dimainkan atas kata-kata dan suatu hal yang digunakan untuk menghadirkan kembali hal yang lain," terang Ahmad dan Ade. Contoh seperti dalam dialog berikut:
Gentolet: "Jangan panggil-panggil namaku lagi!"
Sumiyati: "Kenapa?"
Gentolet: "Namaku bukan 'Lagi'!"
Kelekatan lelucon para komedian itu kemudian bertahan di ingatan publik, bahkan setelah Srimulat terpaksa bubar pada 1989. Anggota-anggotanya tersebar dalam berbagai acara pertunjukan dengan membawa karakter yang sama.
"Srimulat adalah 'anak budaya Jawa' yang andhap asor dan menjauhi hal-hal yang mengandung unsur SARA," tulis Ahmad dan Ade. "Bahkan, grup Srimulat juga mampu menempatkan posisi pemeran perempuan menjadi sosok yang sangat dihormati."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR