Sebagian besar data yang dihasilkan dalam penelitian ini berasal dari timbunan cangkang tiram, situs arkeologi dengan akumulasi cangkang, tulang hewan, sisa-sisa tumbuhan, dan artefak lainnya.
Baca Juga: Fosil Kerang: 95 Juta Tahun Silam, Amerika Utara Sepanas Bali Kini
Baca Juga: Kima: Kerang Raksasa nan Indah dan Dilindungi di Seluruh Dunia
Baca Juga: Kontaminasi Parasetamol di Teluk Jakarta, Apa Dampak Bagi Biota Laut?
Baca Juga: Penemuan Dua Spesies Baru Kerang Air Tawar di Borneo yang Terancam
Timbunan cangkang sering digambarkan oleh para arkeolog sebagai timbunan sampah domestik. Akan tetapi, timbunan cangkang sejatinya merupakan ruang rekayasa yang kompleks. Berkisar dari timbunan kecil, terkadang musiman, sampai gundukan cincin besar. Seringkali, timbunan ini memiliki makna simbolis dan ritual yang mendalam bagi masyarakat adat pada zaman dahulu—bahkan sampai sekarang
Mereka mengungkapkan bahwa perikanan tiram yang diawasi oleh komunitas pribumi tersebar luas dan bertahan selama 5.000-10.000 tahun. Mereka juga menunjukkan bahwa tiram dipelihara secara aktif, yang memainkan peran budaya dan makanan utama.
"Ini bertentangan dengan teori bahwa ekosistem dekat pantai pra-kolonial adalah 'asli' atau 'liar', dan sebagai gantinya sumber daya berhasil dikelola oleh masyarakat adat," kata Reeder-Myers dikutip Sci-News.
Menurut para peneliti, pengelolaan terumbu kerang tiram atau oyster di masa depan harus berpusat pada masyarakat adat dan anggota masyarakat adat. Masyarakat bisa mengembangkan strategi yang inklusif, adil untuk kemelimpahan panen, restorasi dan pengelolaan.
Source | : | Nature Communications,Sci-News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR